Kesehatan Jiwa, Isu yang Semakin Disuarakan Tapi Masih Sering Diabaikan

Isu mental health atau kesehatan jiwa sudah semakin sering terdengar belakangan. Seterusnya, banyak juga orang yang sudah tindak sungkan untuk mengakui penyakit atau gangguan mental yang mereka miliki. Kita jadi semakin tahu ada banyak sekali jenis kondisi jiwa seseorang, yang ternyata tidak lagi terbatas dikata gila seperti yang selama ini kita kenal. Mereka menderita penyakit mental namun tetap bisa berfungsi dmasyarakat, sama seperti penyakit fisik. Disisi lain, pengetahuan itu tidak serta merta membuat kita semua menaruh perhatian yang sungguh pada kondisi mental, masih ada sebagian orang yang tetap bersikeras mengabaikannya. 


Meningkatnya Pengatahuan tentang Kesehatan Mental

Peringatan hari kesehatan mental sudah dimulai sejak tahun 1992. cukup lama berselang setelah penetapan hari kesehatan otak ditahun 1957 dan hari kesehatan dunia sejak tahun 1950.  Peringatan ini dimaksudkan oleh asosiasi kesehatan mental dunia agar kasus kesehatan mental lebih bisa ditangani dengan baik. Diharapkan informasi yang tersebar luas tersebut bisa meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya kesehatan mental juga mengurangi stigma negatif yang melekat didalamnya. Masyarakat yang memahami tentang keadaan mental bisa lebih tanggap akan kondisi mental dirinya juga lingkungan sekitarnya, pertolongan pada gangguan ini juga bisa diberikan dengan lebih cepat dan tepat.

Dua puluhan tahun berlalu, isu kesehatan mental memang mengalami peningkatan perhatian sesuai dengan maksud yang diinginkan. Semakin banyak orang yang paham dengan nama-nama gangguan mental, semakin banyak pula konten yang berisi tentang pentingnya kesehatan mental bersiliweran, salah satunya dimedia sosial yang mayoritas kita konsumsi sehari-hari. Informasi yang kita perlukan hanya tinggal kita temukan dimesin pencari. 

Sayangnya masifnya media yang bisa digunakan siapa saja ini juga membuat isu kesehatan mental menjadi sedikit 'berlebihan'. Banyak yang mendiagnosa sendiri kondisi yang ia alami hanya berdasarkan pengalaman yang diceritakan penggunan lain, banyak juga yang tidak memiliki kapasitas dibidang tersebut tapi membicarakannya kadang dengan penjabaran yang keliru, bahkan tidak sedikit yang memosisikan isu ini sebagai bahan humor. Perilaku seperti ini yang membuat salah kaprah tentang kesehatan mental hingga berujung pengabaian pada kondisi sebenarnya. 


Kekeliruan disekitar Kita

Belasan tahun lalu ketika saya menyampaikan ingin melajutkan sekolah dibidang psikologi, komentar tentang mengurus orang gila tidak sulit untuk didapatkan. Prodi tentang ilmu tersebut juga baru buka, hanya sudah ada di kampus-kampus tertentu khususnya di Pulau Jawa. Sekarang, setidaknya pemahaman orang sudah lebih luas tentang ilmu kesehatan jiwa, meski sayangnya ada banyak kekeliruan.

Pertama, kesehatan mental merupakan bagian yang dibawa oleh masing-masing diri kita. Sama dengan keadaan fisik, keadaan mental setiap orang juga berbeda. Meski stimulasi yang diberikan sama, tubuh memang bisa memberi respon yang berbeda. Jika kita bisa memahami bahwa satu makanan bisa membuat sakit perut satu dua orang diantara sekelompok yang memakan makanan sama, harusnya kita juga bisa menerima bahwa masalah yang sama bisa memberi dampak berbeda pada setiap orang yang mendapatkannya. 

Kedua, tidak semua kondisi bisa kita diagnosis sendiri. Mungkin kita membaca potongan informasi gejalanya diinternet, mungkin kita berpikir bahwa keluhan yang kita rasakan juga sama, tapi itu tidak serta merta membenarkan kesimpulan yang kita ambil secara sepihak. Ada bias-bias subjektifitas diri sendiri, ditambah dengan pentingnya penelusuran lebih dalam sesuai dengan keahlian yang telah dipelajari para pakar selama bertahun-tahun untuk bisa menyimpulkan suatu penyakit mental. Jadi, jika ada hal tidak semestinya yang dirasa, jangan ragu untuk mengkonsultasikannya. 

Ketiga, penyebab dan gejalanya. Sama seperti penyakit fisik yang kita derita, tidak ada yang benar-benar bisa memastikan apa penyebab penyakit mental. Kecenderungan akan selalu ada, tapi tidak mutlak. Sehingga tidak perlu men-generalisir apa yang menyebabkannya. Begitu pula dengan ciri-cirinya. Tentu berbeda orang yang memiliki penyakit asam lambung dengan diabetes, begitu pula akan berbeda antara penyakit kecemasan dan depresi. Hanya satu yang sama, keduanya sama berbahaya bahkan bisa menyebabkan kematian. 

Keempat, mengutamakan kesehatan mental tidak mengindikasikan apapun, hanya menandakan bahwa kesehatan itu penting. Seiring dengan meningkatnya kesadaran akan kesehatan mental, banyak orang yang sudah terang-terangan memperjuangkannya. Mulai membicarakan tentang work life balance, mulai ketat memberi batasan diri, berani mengatakan tidak pada hal-hal yang tidak baik untuk mental sendiri. Mungkin pada awalnya adabanyk orang yang meremehkan, tapi karena kesehatan itu memang penting, karena hanya diri kitalah yang paling memahami kondisi sendiri, maka perjuangkan saja apa yang menurut kita penting itu, dengan cara yang baik.

Kelima, penyakit mental menempel pada tubuh seseorang. Seperti label, penderita penyakit mental sering dianggap tidak bisa sembuh. Padahal, lagi-lagi sama dengan penyakit fisik, penyakit mental juga bisa sembuh. Pengobatan bisa dilakukan. Tindakan medis bisa diupayakan. Semua cara bisa dikerahkan untuk mengembalikan keadaan mental seseorang ke kondisi sehatnya. 

Keenam, orang dengan penyakit mental tidak perlu dianggap aneh, berbeda, apalagi diasingkan, karena sebagian besar tetap bisa beraktifitas. Kita hanya tidak tahu, bahwa bisa jadi rekan kerja disamping kita menderita satu penyakit mental yang tidak ia ceritakan. Kita hanya tidak tahu selebriti yang begitu kita puja sedang menjalani pengobatan untuk gangguan mentalnya. Mereka terlihat baik-baik saja, mereka tidak tiba-tiba tertawa atau bicara sendiri, mereka tetap berkarya dengan gemilang, mereka tetap bersosialisasi dengan menyenangkan. 

Ketujuh, penyakit mental bisa menyerang siapa saja bahkan anak-anak. Tanpa peduli jenis kelamin, usia, hingga latar belkang, gangguan mental bisa diderita oleh siapa saja. Bahkan faktanya, 17% dari seluruh anak menderita gangguan mental diusia sebelum enam tahun. 7% diantaranya mengalami gangguan regulasi emosional dan motorik umum. Seterusnya, 14% orang berusia lebih dari enam puluh tahun atau yang digolongkan lansia menderita gangguan mental. Data itu membuktikan bahwa gangguan mental bisa terjadi diusia berapa saja.


Kekeliruan pemahaman yang ada disekitar kita tersebut bisa mendorong kita ataupun orang-orang disekitar untuk mengabaikan perihal kondisi mental. Menganggap bahwa kondisi tertentu bukanlah gangguan mental atau menganggap bahwa gangguan mental mengindikasikan sesuatu. Sebagai orang awam, kita bisa mulai bahwa penyakit mental adalah suatu penyakit. Cukup sampai disitu. Seperti penyakit lainnya, itu bisa diderita siapa saja, beberapa ada pemicunya, dan juga bisa disembuhkan dan tetap bisa berfungsi didalam masyarakat. Namun yang pasti, jangan sampai kekeliruan itu membuat kita mengabaikan atau memandang remeh kondisi mental seseorang termasuk diri kita sendiri. Pengabaian tidak akan membawa kita kemana-mana. Jika tidak ingin mencari tahu dengan mendalam, setidaknya jangan menghakimi. Jika tidak ingin terlalu memperhatikan, setidaknya jangan mengabaikan. 



Salam, Nasha

0 Comentarios

Mau nanya atau sharing, bisa disini!