Bahas Pro Kontra Menurunnya Angka Kelahiran dalam Hari Populasi Sedunia

Belum lama ini cukup ramai diberitakan tentang tanggapan pejabat BKKBN terkait dengan tren kelahiran di Indonesia yang terus menurun. Kemudian, MenKes juga menyinggung soal menjaga range angka kelahiran sebagai bekal kemajuan Indonesia. Harapannya agar dekade mendatang, anak-anak tersebut dapat menjadi pemuda yang dapat menggerakkan produktivitas bangsa. Disaat yang sama, bumi kita mengalami kondisi yang semakin kompleks dengan terus meningkatnya jumlah manusia. Hingga bertepatan dengan terhitungnya lima miliar jumlah manusia di bumi pada 11 Juli 1987 lalu, ditetapkanlah sebagai Hari Populasi Sedunia. 



Tren Kelahiran di Indonesia dan Dunia

Sebelum membahas lebih jauh tentang angka kelahiran ini, perlu diketahui bahwa negara kita dikelola oleh pemerintah dalam berbagai lembaga dengan bidang khususnya masing-masing. Untuk masalah kependukukan, ada BKKBN (Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional yang bertanggung jawab kepada presiden melalui Kementerian Kesehatan. Salah satu tugasnya adalah mengendalikan jumlah penduduk serta penyelenggaraan keluarga berencana. Jadi wajar jika Kepala BKKBN mengeluarkan pernyataan tentang tren angka kelahiran di Indonesia ataupun TFR (Total Fertility Rate).  Meskipun sudah melakukan klarifikasi beberapa hari setelahnya, ditambah dengan penjelasan dari MenKes sendiri, pembahasan tentang hal ini tidak berhenti. Ramainya tanggapan yang dialamatkan atas pernyataan tersebut didasari oleh berbagai macam faktor, terutama isu terkait dengan perempuan dan keluarga di Indonesia sendiri. 



Sebenarnya permasalahan ini bukan hanya terjadi di Indonesia. Jepang sudah lebih mengalami dan tidak kunjung meningkat hingga sampai pada rekor terendah di TFR 1.21 pada 2023 lalu. Bahkan Korea Selatan sejak 2005 lalu memiliki angka TFR yang lebih rendah hingga menjadi negara dengan jumlah kelahiran per perempuan terrendah di dunia dengan TFR 0.72. Bisa dikatakan tidak ada satu bayi dalam rata-rata seribu perempuan subur di Korea. Tidak hanya di Asia, penurunan angka kelahiran juga dialami oleh Amerika dan negara-negara di Eropa. Beberapa negara di Eropa bahkan diprediksi mengalami penurunan populasi. Berbagai kebijakan sudah diterapkan untuk menarik pasangan muda agar mau memiliki anak. Namun nyatanya, kebijakan tersebut tidak merubah banyak hal. Angka kelahiran terus berada pada tren menurun dari tahun ke tahun.

Alasan negara perlu mempertahankan jumlah penduduk begini tentu sangat masuk akal, apalagi jika dikaitkan dengan segi ekonomi untuk keberlangsungan hidup warga negara tersebut. Sederhananya, penduduk usia produktif akan berkontribusi dalam menunjang kehidupan mereka yang belum atau sudah tidak lagi produktif. Jika jumlah usia non produktif lebih banyak dibanding yang produktif, tentu ini menjadi persoalan rumit bagi negara dalam mengelola penduduknya tersebut. Penurunan populasi juga dapat merusak tata kota yang sudah disiapkan untuk jumlah penduduk tertentu, salah satu contohnya adalah dengan kosongnya sekitar sembilan juta rumah di Jepang. Ancamannya bisa hingga melenyapkan kota-kota yang ada di negara tersebut, karena tidak adanya penduduk yang menghuni. Lalu, siapa yang akan mengelola negara jika sedikit jumlah  pemudanya? Sehingga, mengendalikan jumlah penduduk adalah upaya yang perlu dilakukan dalam pengelolaan negara. 

Namun alasan dari banyak perempuan yang menunda punya anak, membatasi jumlah anak, juga cukup masuk akal. Mereka menyimpulkannya dalam quality over quantity. Tidak bisa dipungkiri bahwa hidup kini menjadi semakin kompleks dibanding generasi sebelumnya. Globalisasi memang seolah membuat kita bisa melakukan apa saja, namun globalisasi juga menambah lebih banyak kekhawatiran. Kemajuan teknologi bisa memudahkan hidup umat manusia, namun juga menempatkan kita dalam posisi yang lebih rentan. Anak-anak semakin mudah terpapar hal yang belum konsumsi mereka, sehingga orang tua perlu usaha ekstra untuk menjaga mereka. Beberapa kekhawatiran yang sering diungkapkan antara lain:

  • Kualitas Anak yang Dibesarkan

Sebenarnya, semakin banyak tahu, semakin banyak yang kita pikirkan, kita juga menjadi semakin mudah cemas. Isu pola pengasuhan, kesehatan, juga pendidikan yang bersiliweran menambah deretan pertimbangan ketika ingin menambah anak. Kekhawatiran itu menyangkut pada perhatian, waktu, juga tenaga yang tercurah akan cukup atau tidak jika ada lebih banyak anak. Dengan terbatasnya semau itu, banyak orang tua khawatir pembagiannya tidak akan cukup untuk anak dalam jumlah yang banyak. Dengan lebih banyak anak, ada lebih banyak hal yang dipikirkan, orang tua juga lebih rentan untuk tidak prima dengan tubuh mereka baik itu secara fisik maupun mental. Apalagi kita berada pada masa dengan peningkatan gangguan mental dari waktu ke waktu. Anak tidak bisa hanya besar dengan sendirinya, tanpa kualitas baik dari pengasuhan orang tua yang sehat. Sama halnya dengan pendidikan, anak butuh pola pengasuhan yang optimal dari rumah, yang dilanjutkan dengan pendidikan berkualitas dari luar rumah. Kesehatan dan pendidikan dianggap sebagai item yang perlu diiupayakan dengan maksimal, agar anak nantinya bisa menjadi generasi penerus yang berkualitas. Sedangkan, semakin banyak anak akan semakin banyak keperluan, yang dikhawatirkan akan semakin sulit untuk dipenuhi secara optimal. 

  • Kesejahteraan Keluarga

Kesejahteraan ini memang erat kaitannya dengan faktor ekonomi, namun bukan hanya dari satu sisi itu saja karena kesejahteraan berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan mulai dari material, spiritual, emosional, juga sosial. Dengan sumber daya yang dimiliki, kekhawatiran muncul akankah anak cukup sejahtera didalam keluarga tersebut. Biaya yang dibutuhkan dari hari ke hari semakin tinggi, sedangkan penghasilan yang diterima tidak bertambah signifikan. Untuk mendapat tambahan penghasilan, tidak banyak yang bisa dilakukan karena waktu dan tenaga yang juga terbatas. Tidak banyak lagi yang percaya dengan, banyak anak banyak rezeki. Orang tua yang harus bekerja siang malam memenuhi kebutuhan rumah tangga juga akan kelelahan secara emosional sehingga khawatir tidak mampu mendampingi anak dengan sepatutnya. Banyak orang tua khawatir dengan semakin banyaknya anak semakin berkurang pula kesejahteraan yang mereka semua bisa dapatkan. 

  • Alasan Personal

Ada banyak alasan lain yang diungkapkan oleh orang tua khususnya ibu terkait dengan jumlah anak ini. Mulai dari kesehatan seperti proses dari hamil hingga menyusui yang membutuhkan tubuh prima, waktu pemulihan tubuh yang tidak bisa sebentar, hingga berbagai rekomendasi kesehatan tentang tubuh perempuan untuk melalui proses tersebut. Tidak sedikit juga perempuan yang mengalami kondisi tertentu sehingga tidak disarankan untuk hamil kembali. Alasan lain berhubungan dengan sistem sosial patriarki yang masih melenggang di masyarakat kita. Perempuan dituntut untuk serba bisa, mulai dari mengasuh anak, mengerjakan pekerjaan rumah, juga tetap berkarya di luar rumah. Sebaliknya laki-laki hanya dituntut untuk mencari nafkah atau bekerja. Ketika ia melakukan pekerjaan rumah atau mengasuh anak, disebut ia membantu istri. Padahal itu adalah kewajibannya juga sebagai ayah dan penghuni rumah. Akibatnya banyak perempuan yang sudah kelelahan duluan dengan banyaknya tuntutan sehingga memilih untuk memiliki lebih sedikit anak. Alasan lingkungan juga tak jarang dikemukakan. Kualitas air dan udara yang terus memburuk, pemanasan global yang mencapai titik terendahnya, membuat banyak orang tua khawatir untuk membesarkan anak dalam kondisi ini. Apalagi kehadarian satu tambahan jiwa juga akan menambah daftar kebutuhan yang harus dipenuhi dari bumi. Akhirnya pilihan yang tersisa menjadi cukupkan dengan yang ada saja sebatas meneruskan keturunan.

Sebenarnya wajar jika sebuah negara memikirkan tenang nasib bangsanya jika penduduk terus berkurang. Namun alasan untuk membatasi jumlah anak juga cukup masuk akal. Masing-masing pihak memiliki kehawatirannya sendiri. Dari sinilah kita perlu belajar untuk melihat dengan lebih luas. Karena dengan kulitas hidup yang semakin menurun, bukan hanya segi ekonomi yang akan terganggu namun untuk bertahan hidup saja akan semakin sulit dilakukan. Harusnya negara bisa mengatasi dahulu kekhawatiran rakyatnya terkait dengan kebutuhan dasar baru bisa bicara tentang rekomendasi jumlah anak yang diharapkan. Bukan tiba-tiba mengeluarkan pernyataan tentang kelahiran anak perempuan, seolah sebagai objek untuk data penjumlahan saja.

Jika air dan udara bersih saja harus diusahakan secara mandiri, tentu banyak orang yang tidak berpikir lagi untuk menambah jumlah anak. Jika akses kesehatan saja masih sulit dijangkau, tentu kekhawatiran akan masa depan si anak menjadi berkali lipat banyaknya. Jika pendidikan yang disediakan masih jauh dari standar seharusnya, wajar jika orang tua berpikir untuk terus menambah pundi uang agar bisa mendapat sekolah yang sesuai dengan kebutuhan dan keinginannya. Jika energi yang ada terus dipakai tanpa tampak ada pergantian yang disiapkan, tentu orang tua berpikir ulang bagaimana nasib anaknya kelak dimasa depan. Jika kekhawatiran tersebut mendapat jawaban yang jelas dan solutif, persoalan kelahiran tentu menjadi lebih mudah dibicarakan. Sedangkan Jepang dan Korea yang sudah jauh lebih dulu menerapkan berbagai kebijakan menguntungkan bagi anak saja masih kewalahan, harusnya Indonesia bisa belajar untuk mendapatkan solusi yang lebih komprehensif. 


Pro Kontra tentang Kelahiran dan Populasi Dunia

Bicara tentang tren kelahiran ini juga berkaitan erat dengan jumlah penduduk bumi yang terus bertambah. Hal yang mengejutkan dari pertambahan populasi adalah bagaimana ledakan jumlah manusia di bumi semakin menjadi hanya dalam seabad terakhir. Butuh ribuan tahun untuk mencapai satu miliar jiwa pada abad ke-18, lalu butuh satu setengah abad hingga mencapai 2.5 miliar pada 1950 lalu, dan tidak sampai satu abad hingga berjumlah lebih dari 8 miliar saat ini. Peringatan Hari Populasi sedunia yang ditetapkan oleh UN bertepatan dengan jumlah manusia yang 5 miliar pada tahun 1990 lalu.

Jumlah tersebut tidak hanya didapat karena angka kelahiran yang juga meningkat namun juga angka kematian yang rendah dan angka harapan hidup yang semakin tinggi. Perkembangan ilmu pengetahuan dan kemajuan teknologi memungkinkan manusia untuk bisa hidup dalam usia yang lebih panjang. Akses kesehatan lebih mudah, alternatif pengobatan lebih beragam, lebih banyak pengobatan yang dikembangkan untuk mengobati penyakit. Ini kabar gembira.

Disisi lain, kepadatan penduduk di bumi ini juga menimbulkan banyak kekhawatiran. Ada ketimpangan dari jumlah sumber daya yang tersedia dengan jumlah kebutuhan setiap manusia. Apalagi dengan pengelolaan yang serampangan dan tidak berkelanjutan, seolah hasil bumi digerogoti tanpa diperbarui kembali. Apa yang tidak lagi berguna dibuang begitu saja. Kita menjadi beban yang semakin berat untuk ditanggung. Delapan miliar yang kita bicarakan kini dalam satu bumi bukan jumlah yang sedikit. Sumber daya yang disediakan bumi semakin menipis, tidak sebanding dengan upaya manusianya untuk memperbarui. Ditambah kita menghasilkan ampas yang tidak habis-habis. Semakin hari, tingkat persaingan untuk bertahan hidup menjadi semakin tinggi. 

Untuk kebutuhan dasar saja misalkan, ada kebutuhan sandang, pangan, papan. Tambahan manusia juga membutuhkan tambahan hasil pertnian untuk mengenyangkan perutnya, butuh hasil produksi industri untuk menutupi tubuhnya sesuai dengan gaya hidup kini, butuh tambahan lahan lagi untuk area yang ia tinggali. Dengan kekuasaan yang dimiliki manusia kini, rasanya semua itu bisa saja dengan mudah didapatkan, meski harus mengorbankan kehidupan lain. Membabat pohon tempat bernaung orang utan atau mengurangi wilayah harimau hingga kesulitan lagi mencari makan misalkan.  

Sebenarnya, tidak akan masalah dengan pertumbuhan jumlah penduduk bumi dengan catatan kita bisa hidup dalam harmoni. Tanpa keserakahan, tanpa usaha yang ingin menang sendiri. Namun hal yang menjadi sorotan adalah pola kehidupan manusia yang tidak berpikir panjang untuk keberlangsungan planet tempat ia tinggal. Banyak perkembangan teknologi yang memudahkan hidup manusia namun disisi lain tidak seleras dengan kelestarian lingkungan, misalkan pembangunan pabrik besar-besaran yang mengorbankan lahan hijau dan menambah banyak emisi karbon, penggunaan kendaraan bermotor yang juga banyak menghasilkan polusi udara, perubahan pola makan dari pengolahan tradisional ke pengolahan modern yang lebih ringkas dan tahan lama tapi sayangnya melibatkan zat yang berbahaya, hingga pada gaya hidup konsumerisme mengikuti tren yang semakin menjadi-jadi. 

Dasar inilah yang kemudian membuat para environmentalist sampai pada kesimpulan bahwa penurunan populasi dapat menjadi solusi dari berbagai masalah lingkungan. Bahkan beberapa ahli sudah membuktikan teorinya dengan perhitungan data ilmiah. Salah satunya yang dipublikasikan pada 2017 lalu oleh oleh Wynes dan Nicholas yang menyimpulkan bahwa mengurangi satu anak bisa mengurangi emisi karbon hingga 50 kali dibandingkan dengan mendaur ulang. Sederhananya, populasi yang lebih sedikit membutuhkan sumber daya yang lebih sedikit pula, sehingga emisi yang dihasilkan juga menjadi lebih sedikit. Dengan gaya hidup manusia yang semakin lama semakin merusak, mereka beranggapan bahwa menghambat laju pertumbuhan populasi bisa menjadi solusi. 

Namun, ada satu fakta lain yang tidak bisa diabaikan mengenai emisi karbon yang berkontribusi pada perubahan iklim ini, yaitu pada data emsisi yang dihasilkan oleh masing-masing negara. Negara maju dengan jumlah anak yang lebih sedikit ternyata menghasilkan emisi karbon yang jauh lebih banyak dibanding negara berkembang dengan jumlah anak yang lebih banyak. Hal ini bisa didapatkan jika kita menghitung emisi yang dihasilkan per kapita wilayah. China memang negara penghasil emisi karbon nomor satu di dunia, namun jumlah karbon yang dihasilkan per kapitanya hanya sebesar 8.05 ton jauh lebih rendah dibanding Amerika diangka 14.86 ton, bahkan juga dibawah Jepang sebesar 8.57 ton. Bahkan Lithuania dengan penurunan tajam pada jumlah populasinya menghasilkan 8.85 ton emisi karbon per kapitanya. Sesuai dengan apa yang disampaikan oleh earth.org bahwa urusan masalah iklim yang berhubungan dengan pengurangan emisi karbon ini tidak bisa hanya melihat dari jumlah manusianya saja, namun pada apa yang mereka lakukan. Negara-negara maju harusnya memiliki tanggung jawab lebih besar pada hal ini, untuk menghentikan gaya hidup yang tidak ramah lingkungan, memperlambat laju industri dan konsumsi, serta melakukan segala aksi untuk aktivitas yang berkelanjutan. 

Mengatasi masalah iklim yang kita semua rasakan sekarang akibatnya ini, memang seharusnya dalam skala besar, yang menjadi pusat perhatian dari para pengelola negara di seluruh dunia. Bagaimana udara, air, serta kesehatan dan kesejahteraan penduduk diutamakan. Tidak terlalu banyak perubahan jika populasi berkurang namun masih dengan gaya hidup yang tidak peduli alam. Harusnya, menjaga angka kelahiran berjalan beriringan dengan menjaga kualitas hidup, yang artinya mengubah pola kehidupan menjadi lebih berkelanjutan. Melalui program dan kebijakan yang mereka buat, harusnya urusan pengendalian jumlah dan kualitas penduduk serta keberlanjutan kehidupan di bumi ini menjadi fokus pertimbangan utama sebelum membicarakan aspek kehidupan lainnya. Lagi-lagi, kita perlu diingatkan tentang there will be no future without nature. 



Salam, Nasha

13 Comentarios

  1. Orang-orang jaman skrang mungkin sudah cukup terbuka. Apalagi mindset orang sekrang ini. Karena mereka lebih fokus berkarir dan bekerja dibanding untuk menikah...


    Newsartstory

    BalasHapus
  2. Kondisi ini dikhawatirkan dapat memperlambat pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan beban demografi di masa depan. Di sisi lain, penurunan angka kelahiran juga membuka peluang untuk meningkatkan kualitas hidup dan melindungi lingkungan.

    BalasHapus
  3. Bumi udah terlalu padat. Buat saya jadinya gak masalah terjadi penurunan populasi manusia. Udah bukan zamannya lagi berpikir banyak anak banyak rezeki, kecuali memang kita benar-benar mampu memberikan yang terbaik untuk semua anak secara layak

    BalasHapus
  4. Yap, pro kontra juga lho masalah kelahiran dan populasi dunia. Kepadatan penduduk tentu saja bisa menimbulkan ketimpangan sumber daya dalam memenuhi kebutuhan manusia. Belum lagi adanya isu climate change dan peningkatan emisi karbon. Masih jadi PR para pengelola Negara di dunia untuk keberlanjutan kehidupan.

    BalasHapus
  5. Akupun bermazhab hampir seperti ini sih kak quality over quantity, ditambah memang serba mahal biarpun setiap anak ada rezekinya tapi itukan mesti dicari dan bukan menunggu semoga demgan itu juga kita bisa menjaga bumi yakkk utk kelangsungan hidup kelak

    BalasHapus
  6. Baru tau kalau tren melahirkan di Indonesia angkanya terus menurun. Kalau Jepang dan Korea, iya aku tau. Kalau Indonesia sepertinya masih pada semangat2 aj untuk melahirkan dan punya anak hehehe...

    BalasHapus
  7. Dampak dari rendahnya angka kelahiran ini ngeri ngeri sedap juga ya. Tapi, bukan berarti kita bisa mengabaikan alasan mengapa angka kelahiran ini rendah. Terlebih di Indonesia. Sosialisasi "ayo punya anak" dari pemerintah, di tengah kondisi ekonomi yang memburuk, plus rendahnya pemahaman literasi keuangan dari kebanyakan generasi Z atau bahkan generasi milenial, hanya akan jadi pepesan kosong. Layanan kesehatan serta layanan pendidikan harus dapat diakses seluruh warga. Kalau faktor ini sudah membaik, saya rasa akan ada banyak kepala keluarga yang yakin untuk punya anak. Dan dari kita sendiri, harus bisa berpikir maju dan upgrade kemampuan diri, terutama dari sisi mental, kesehatan fisik, dan finance.

    BalasHapus
  8. kadang merasa bersyukur dengan adanya media sosial sekarang akses informasi jadi lebih mudah. termasuk tentang parenting dan hal sejenisnya yang bikin kita jadi makin aware soal anak. yang tentunya juga ngaruh ke keputusan tiap orang dalam memiliki anak. cuma ya itu, jadi makin menurun ya angkanya.

    BalasHapus
  9. Sebenarnya aku juga bingung dengan fenomena ini kudu bersyukur atau khawatir terhadap masa depan. Soalnya di sisi lain kalau kekurangan manusia bisa mengancam perekonomian, sisi positifnya bisa mengurangi dampak pemanasan global ya secara tidak langsung

    BalasHapus
  10. Jadi mikir nih, lebih baik mana antara kelahiran menurun tapi semua berkualitas, dengan kelahiran banyak tapi banyak stunting.

    BalasHapus
  11. Jujurly, kalau untuk masa sekarang aku mendukung "pengurangan populasi" karena melihat memang kyknya beban generasi di bawah kita tu kyk lebih berat gtu. Mungkin krn tuntutan zaman. Biar baby2 yang lahir juga benar2 berasal dari keluarga yang siap aja, jd nanti saat dia besar juga bisa dididik dgn lebih baik.
    Mungkin udah waktunya mengurangi manusia dan memperbaiki alam dulu.

    BalasHapus
  12. Cukup membingungkan memang, tapi tentu akan lebih baik jika populasi yang dilahirkan sedikit namun bisa lebih berkualitas dibandingkan banyak malah tidak tercover untuk kebutuhannya. Apalagi dijaman yang serba instan seperti ini, harus dipertimbangakn dengan lebih matang

    BalasHapus

Mau nanya atau sharing, bisa disini!