Mengutip ucapan Ali Bin Abi Thalib, "sesungguhnya manusia itu ada dua tipe: Jika dia bukan saudaramu seagama, dia saudaramu dalam kemanusiaan" aku jadi teringat tentang pengalamanku saat sekolah dulu. Sebagai murid minoritas di sekolah selama sembilan tahun di bangku SD dan SMP.
Aku hidup di kota dimana muslim adalah agama mayoritas, namun orang tuaku memutuskan agar aku bersekolah di salah satu yayasan non muslim saat itu. Keputusan dan keberanian yang kukagumi sampai sekarang. Karena aku bisa membayangkan bahwa itu bukan hal yang mudah, ditambah dengan komentar dan pendapat orang lain. Tapi orang tua ku bisa yakin dan tetap maju, serta menjawab segala keraguan, ketakutan yang orang lain kemukakan. Toh, aku tetap muslim, aku juga diikutkan kelas mengaji setiap hari di masjid. Sama seperti anak lainnya. Pertimbangan kedua orangtuaku sederhana sebenarnya. Saat itu, sekolah itu adalah salah satu sekolah terbaik yang menjadi pilihan. Pilihan yang membuatku mendapat banyak pengalaman tentang perbedaan.
Sholat
Selama bersekolah di yayasan tersebut, aku tetap mendapat pelajaran agama sesuai dengan agamaku. Kami yang muslim di beberapa kelas yang setara akan berangkat ke ruangan berbeda untuk menerima pejaran dari guru agama islam. Standar dua jam mata pelajaran seminggu, sama banyaknya dengan anak-anak lain dan sekolah-sekolah lain.
Untuk ibadah wajib selama jam pelajaran juga tidak sulit, aku bisa sholat zuhur saat istirahat siang di mushola yang tidak jauh dari sekolah. Ada satu kejadian yang masih aku ingat hingga kini. Saat itu hari jumat, kewajiban bagi laki-laki untuk pergi ke masjid melaksanakan sholat jumat. Seorang guru kemudian bertanya pada anak laki-laki yang ia temui, kenapa tidak berangkat ke masjid. Rupanya ia ragu pergi karena lupa membawa sandal, akhirnya guru tersebut meminjamkan sendalnya agar anak tadi bisa berangkat ke masjid melaksanakan sholat jumat. Hal sederhana tapi menyentuh untukku.
Saat 'terpaksa' sholat di dalam kelas pun, tidak pernah sekalipun temanku dulu yang mengganggu ataupun merasa terusik. Malah sedihnya, aku justru diganggu oleh teman seagamaku sendiri saat SMA. Aku tidak akan menyamaratakan, namun itu hal yang aku alami dan perbuatan seperti ini memang kembali ke individu masing-masing.
Berpuasa
Selama sembilan tahun sekolah tersebut, ada tahun-tahun dimana aku menjalankan ibadah Ramadhan dengan tetap bersekolah seperti biasa dan ada pula yang ikut kegiatan keagamaan bernama pesantren kilat. Jadi di kotaku, aku lupa sejak tahun berapa, ada keputusan walikota agar setiap Ramadhan kegiatan sekolah digantikan dengan full kegiatan keagamaan di tempat ibadah masing-masing. Kami yang muslim wajib ikut pesantren kilat di masjid sekitar rumah masing-masing.
Sebelum adanya pesantren kilat itu, aku berpuasa di tengah-tengah teman yang tidak puasa. Di sana, kantin buka seperti biasa. Hal yang tidak masalah juga harusnya. Mereka makan di depanku juga tidak apa. Namun yang mengagumkann, teman-temanku ini tidak pernah mau makan di depanku, bahkan mereka yang biasanya makan atau membawa cemilan ke kelas tidak pernah melakukan itu selama kami berpuasa. Aku ingat suatu kali, salah seorang temanku masih menghisap permen saat masuk ke kelas. Saat ia mengobrol denganku, ia baru tersadar bahwa masih ada permen di mulutnya. Ia langsung meminta maaf dan membuang permen tersebut. Sederhana sekali kan? Tapi itu menghangatkan hatiku, bahkan puluhan tahun setelah itu terjadi.
Ibadah Mereka
Masuk ke dalam kelompok tertentu, membuatku banyak menyaksikan kebiasaan orang lain yang berbeda dariku. Bagaimana mereka berdoa, ritual apa yang dilakukan, serta pantangan apa yang tidak boleh dilanggar. Aku hafal doa yang dilantunkan setiap pagi, aku ingat jadwal ibadah yang mengharuskan semua mengganti jam pelajaran, serta aku juga ikut tidak makan saat mereka juga berpuasa. Pada hari besar tertentu, aku juga ikut kegiatan disana, tidak menyisakan bekas apapun selain kegembiraan.
Hal-hal yang kadang menakutkan bagi orang lain untuk masuk ke kelompok tertentu yang dianggap berbeda, ternyata adalah hal yang biasa saja. Toh ternyata aku beribadah sesuai dengan agamaku, mereka juga menjalankan ibadah sesuai dengan yang mereka yakini. Tanpa bersinggungan, bisa saja kok sebenarnya.
Pelajarannya
Pengalaman sembilan tahun itu cukup berpengaruh pada bagaimana aku memandang kehidupan sekarang. Untuk hidup damai tanpa meributkan perbedaan. Hal yang sangat aku syukuri, karena aku tidak hanya belajar akademis namun juga belajar banyak tentang kehidupan dan perbedaan.
Pertama, aku memahami bahwa sejak awal kita tidak tau bahwa kita berbeda. Kita dilahirkan sebagai bayi yang tidak tau tentang asal usul. Kita tumbuh sebagai anak-anak yang ingin bermain dengan siapa saja tanpa paham mengkotak-kotakkan manusia lain. Sebagai anak, kita bisa saja berteman dengan siapa pun, dari suku mana saja, dan dengan latar belakang apapun. Orang tua lah pihak yang pertama kali memberi batas pergaulan dan mulai membeda-bedakan manusia.
Kedua, aku diajarkan betul bagaimana kita tidak bisa sembarangan menilai orang lain. Seseorang adalah bentuk yang sangat luas, tidak mungkin kita bisa mengambil kesimpulan hanya dari beberapa pertemuan atau bahkan dari kata orang lain. Apa yang seseorang lakukan belum tentu mewakili keseluruhan dirinya. Ada begitu banyak alasan, ada banyak sekali momentum, dan ada berjibun masa lalu dan masa depan. Sederhananya, tidak perlu repot menyimpulkan orang lain.
Ketiga, setiap kita memang diciptakan istimewa sehingga berbeda itu hal biasa. Aku bersekolah bukan hanya dengan teman yang agamanya berbeda namun juga dengan teman dari suku yang beragam. Bukan hanya asal usul, namun kecenderungan fisik, kebiasaan, dan logat juga berbeda dari yang biasa aku dengar di lingkungan rumah. Sebagai anak-anak aku hanya menyambut hal itu tanpa menindak lanjuti memberi penilaian bahwa oh itu lebih baik ataupun itu lebih buruk. Menerima tanpa menilai. Sama saja semuanya, berbeda.
Seperti semua hal lain, kita memang tidak bisa menyamaratakan apa yang terjadi, atau mengkategorikan kejadian pada sesuatu. Sama saja, apapun kembali pada individu masing-masing, tanpa embel-embelnya. Cerita ini murni dari apa yang aku alami dengan orang-orang yang Tuhan pilih untuk aku temui. Hari ini aku hanya berbagi cerita damai, potongan yang katanya perbedaan, aku kenang sebagai suatu keindahan.
Kembali pada kalimat yang sering digaungkan, bahwa "semua kita itu sama, yang membedakan hanya keimanan" Nah, siapa yang bisa menilai keimanan?
0 Comentarios
Mau nanya atau sharing, bisa disini!