Tahun ini, Indonesia ternyata sudah berusia 80 tahun. Cukup tua di Asia Tenggara, meski masih jauh dari usia negara-negara lain di dunia. Kenyataannya, ada banyak hal yang terjadi pada perayaan tahun ini. Ada yang serius dengan harapannya pada ibu pertiwi dan ada pula yang nyeleneh menyampaikan pandangannya. Tidak hanya perayaan, sepanjang bulan ini juga ada kejadian yang melegakan dada, banyak pula yang menyesakkan. Semua turut serta mewarnai perayaan kemerdekaan Indonesia.
Indonesia, Tanah Tercinta
Tidak hanya luas, Indonesia memiliki pesona yang sulit ditandingi. Tidak perlu diragukan tentang kekayaan alam yang ada. Tanahnya yang kaya dengan pemandangan luar biasa. Ke mana mata ingin melihat, di situ kita bisa mengucap syukur atas keindahannya. Gunung dan perbukitan menjulang dengan gagahnya, hamparan hutan rimbun menyegarkan, lautan mengelilingi dengan magisnya. Semua karunia yang mudah kita dapatkan dengan berada di Indonesia.
Setidaknya saya sudah menginjakkan kaki di empat pulau besar di Indonesia, bahkan sudah tinggal di tiga di antaranya. Kekayaan alam dan pemandangan fantastis memang tidak perlu diragukan. Lebih dari itu, saya juga mendapati bahwa setiap daerah memiliki keistimewaannya masing-masing, yang menambah kaya negeri kita. Dari sebuah tanah yang penuh aroma rempah, kita dapat mengenal kehidupan yang lekat dengan tradisi. Dari wilayah yang lebih padat, kita mengenal tentang kemajuan peradaban serta keanekaragaman masyarakat yang bisa saling peduli. Serta dari bumi yang dikelilingi hutan dan perkebunan, kita dapat merasakan bahwa hidup ini adalah soal ketenangan.
Belum lagi perihal sajian makanan. Keunikan rasa tiap daerah adalah kemakmuran yang mustahil diabaikan. Ada masyarakat yang menyukai sajian penuh bumbu dan rasa yang kuat, ada yang memilih paduan rasa lebih sederhana dengan penambahan sedikit gula, ada pula yang berhasil memadukan preferensi keduanya. Ada yang masih mempertahankan proses pengolahan dari nenek moyang, ada pula yang berhasil menyulap sajian internasional dengan kearifan lokal. Semua menawarkan kenikmatan yang sayang sekali untuk dilewatkan.
Hal tidak kalah penting yang menambah kecintaan saya adalah warganya. Mudah sekali menemukan orang asing yang bersedia menyapa bahkan membantu. Di sinilah, ita bisa mendapati sapaan tulus menghangatkan hati bahkan tidak mustahil bisa menyelamatkan hari. Gotong royong adalah semangat yang sudah mendarah daging, kebersamaan menjadi dasar utamanya. Dari tetangga hingga pedagang, dari kerabat dekat hingga orang yang baru pertama ditemui, semua menghadirkan pengalaman manusiawi yang membuat hidup terasa lebih berarti dan ringan dijalani.
Kehangatan ini berpadu dengan nikmatnya sajian dan indahnya pesona alam, bagaimana mungkin tidak jatuh cinta? Sayangnya tidak sedikit catatan yang mencederai rasa cinta saya itu.
Indonesia di Tengah Harapan dan Tantangan
Dengan seluruh keistimewaan itu, tidak salah jika kita berharap bisa hidup sejahtera di tanah Indonesia. Apalagi sudah 80 tahun merdeka, paling lama se-Asia Tenggara, jika mengecualikan Thailand yang tidak pernah dijajah sebelumnya. Apalagi kita punya cita-cita besar menjadi bangsa emas 20 tahun dari sekarang. Namun kenyataannya, makin hari hidup tidak terasa makin mudah, malah makin susah. Bukan hanya faktor ekonomi, tapi juga aspek lain yang membuat bertahan hidup makin terasa menantang.
Setidaknya sebulan ke belakang, ada banyak sekali topik negatif yang menjadi bahan perbincangan. Mulai dari berita korupsi yang seakan tidak ada habisnya, kualitas pendidikan yang seperti jalan di tempat, meningkatnya harga kebutuhan pokok, hingga isu lingkungan yang tak tampak ada jalan penyelesaian. Dinamika politik para pejabat dan kebijakan publik pun kerap menimbulkan pro kontra yang membuat gaduh ruang media sosial.
Apa yang diributkan hingga memicu aksi demo sebenarnya bukan hanya karena satu dua persoalan angka, tapi lebih pada menumpuknya persoalan yang sudah ada, ketidakjelasan prioritas pengurus negara, dan cara komunikasi yang buruk. Secara berkala, ditemukan kasus korupsi dengan nilai yang bisa membiayai banyak hal urgen di negeri ini, kesehatan dan pendidikan salah duanya. Sedangkan dana tersebut malah dialihkan demi kesejahteraan segelintir pihak saja. Ketimpangan yang terjadi antara rakyat dan wakilnya inilah yang paling membuat frustasi. Di satu sisi, warga sulit mendapatkan sumber penghasilan, begitu mendapatkan pun harus dipotong untuk dana kebersamaan. Ternyata bukannya digunakan untuk pembangunan malah digunakan untuk kemakmuran sebagian pengelolanya. Bagaimana warga tidak murka?
Saya sampai tidak habis pikir, bagaimana orang bisa se-serakah itu? Sudah tampak memiliki segala, tapi masih mengambil milik orang lain juga. Mungkin ini yang disebut, orang haus minum air laut, tidak akan pernah tercukupi.
Padahal ada banyak masalah lain yang lebih mendesak untuk diperhatikan. Lingkungan. kesehatan, dan pendidikan. Di saat negara lain berlomba-lomba untuk mencapai zero carbon, kita masih sibuk memerdebatkan izin tambang baru. Di tengah kota dan negara dunia yang sibuk mengelola sampah dan membuat kebijakan mencapai tingkat kebersihn tinggi, kita masih berkutat dengan penuhnya tempat pembuangan akhir hingga menjadi wilayah berpenyakit bagi warga sekitar.
Penyakit dan kesehatan juga menjadi persoalan serius, apalagi dengan ditemukannya kasus luar biasa dari penyakit yang sebenarnya bisa dicegah dengan vaksin dan lingkungan yang bersih. Dari tahun ke tahun, kasus berbagai jenis penyakit menunjukkan penyelesaian yang tidak sampai ke akar. Sebagian besar karena adanya gap antara pencegahan dengan pengobatan, khususnya pada kesadaran masyarakat sendiri dan lingkungan yang mereka tinggali. Ketersediaan air bersih dan rumah layak huni adalah aspek wajib yang harus dipenuhi.
Ironi kesehatan lainnya adalah hak udara bersih yang masih perlu diperjuangkan secara mandiri. Bukan hanya alat penjernih udara yang harus diusahakan sendiri, tapi juga kebijakan yang mendukungnya. Perokok aktif masih berkeliaran mengembuskan asapnya di mana saja, tanpa perlindungan pasti pada orang-orang di sekitarnya. Bahkan banyak orang yang sungkan untuk menegur mereka, untuk mendapatkan haknya berupa udara bersih. Makanan instan dalam kemasan pun masih merajalela di media hingga warung-warung warga, menjadi pilihan mudah dan murah untuk dinikmati. Gaya hidup sehat yang digaungkan akun-akun pribadi di media sosial ternyata tidak seiring dengan apa yang dikerjakan oleh penggerak kehidupan massal di atas sana. Hal ini memperlihatkan lemahnya sistem kita dan kesadaran dalam.
Pendidikan pun menghadapi tantangan serupa. Akses untuk pendidikan tidak bisa ditembus semua orang, apalagi jika tinggal jauh dari perkotaan. Fasilitas seadanya dengan kualitas yang tidak sama. Di sisi lain, sekolah negeri yang ditujukan untuk meringankan beban warga ternyata tidak optimal berfungsi, sehingga banyak orang yang memilih beralih pada swasta. Dengan biaya yang lebih tinggi, tapi lebih bisa diharapkan. Hal yang paling menyedihkan dari proses persiapan generasi ini adalah pada tingkat literasi yang jauh dari harapan. Di tengah dunia yang sibuk berinovasi, kita masih berjuang untuk sekadar meningkatkan fokus agar bisa membaca dari awal sampai akhir tulisan.
Pada akhirnya, dengan kekayaan alam yang berlimpah kita miliki, potensi untuk menjadi negara maju sangatlah besar. Namun dengan kondisi berbagai aspek penopang berupa lingkungan, kesehatan, serta pendidikan saat ini, jelas perjalanan kita tidak sebentar. Perbaikan perlu dilakukan di semua lini, dari atas hingga ke bawah. Dari niat kebersamaan hingga integritas dalam melaksanakan. Harapan akan terus ada, untuk kejayaan Indonesia.
Salam, Nasha.