Delayed Gratification, Melatih Anak Menunda Kesenangan Demi Belajar Pengendalian

Dengan makin berkembangnya ilmu pengasuhan kini, rasanya ada makin banyak pula hal yang perlu kita ajarkan pada anak. Salah satunya adalah delayed gratification, kemampuan menunda kesenangan untuk sesuatu yang lebih besar di masa depan. Mungkin anak tidak begitu paham dengan istilah ataupun definisinya, tapi mereka tetap bisa berlatih jika kita memahami dan membiasakannya pada mereka. Dengan tujuan untuk membentuk karakter anak yang sabar, gigih berjuang, menghargai proses, serta mampu mengendalikan diri; mari kita belajar tentang delayed gratification dan cara menerapkannya. 


Delayed Gratification

Seperti yang tadi disebutkan, delayed gratification berarti menunda kesenangan saat ini untuk sesuatu yang lebih besar di masa depan. Keterampilan ini berhubungan dengan penelitian yang pernah dilakukan oleh Walter Mischel pada tahun 1960-an bernama marshmallow test. Saat itu sekelompok anak usia pra-sekolah diberi pilihan untuk memakan marshmallow yang ada di depan mereka saat itu juga atau menunggu 15 menit untuk mendapatkan yang lebih banyak. Hasilnya anak yang berhasil menunggu cenderung memiliki kualitas hidup yang lebih baik. Orang tua menilai bahwa mereka memiliki skor akademik yang lebih baik, kefasihan verbal, lebih mampu fokus, dapat merencanakan dengan baik, serta memiliki kemampuan sosial yang baik pula. Dari percobaan panjang itu disimpulkan bahwa delayed gratification yang mengindikasikan self control seseorang, berpengaruh pada bagaimana ia menjalani hidupnya. 

Bayangkan saja, anak yang meminta mainan di pusat perbelanjaan. Antara anak yang terbiasa mendapatkan langsung mainan yang ia inginkan dan akan tantrum ketika tidak mendapatkannya dengan anak yang bisa diajak berkomunikasi bahwa mainan yang ia inginkan tidak bisa ia dapatkan sekarang. Entah karena memang tidak ada dalam rencana, tidak butuh, belum cukup uangnya, dan seterusnya. Anak yang mau mencoba memahami alasan tersebut tampak lebih bijaksana, kan? Bayangkan mereka tumbuh dewasa dengan bekal mental demikian.

Jika dirinci, manfaat dari menunda kesenangan itu antara lain:

  • Lebih tenang menghadapi situasi yang tidak menyenangkan baginya. Sebab ia paham memang tidak semua keinginannya bisa terwujud apalagi secara instan. Maka ketika ia tumbuh makin besar dan dewasa, ia sudah memahami fakta tersebut sehingga bisa lebih santai menghadapinya.
  • Sebagai sarana latihan kesehatan mental atau kestabilan emosi. Dengan belajar menunda kepuasan, anak juga sudah terbiasa menghadapi situasi di mana ia berhdapan dengan berbagai emosi. Ia sudah berpengalaman dengan emosi seperti kesal, sedih, gregetan, ketika menunggu untuk mendapatkan apa yang ia mau. Maka selanjutnya, ia lebih bisa mengontrol emosi tersebut.
  • Melatih anak untuk gigih, fokus pada tujuan, serta menjadi perencana yang lebih baik. Dengan menunda kepuasan, anak dilatih untuk paham apa yang benar-benar ia inginkan, kapan mendapatkannya, bagaimana caranya, apa yang perlu ia lakukan. Seterusnya anak dapat menjadi pribadi yang bisa menyusun rencana dan fokus menindak lanjutinya. 
  • Lebih bijaksana dalam pengambilan keputusan karena lebih tidak bgitu terpengaruh dengan emosi. Banyak pengambilan keputusan kita yang berdasar pada emosi sesaat atau karena impulsif. Di sinilah fungsi pengendalian diri sehingga anak tidak serta merta mengambil keputusan ceroboh yang bisa ia sesali. Dengan menunda kepuasan, kita jadi mengajak anak berpikir lebih panjang akan apa yang benar-benar ia inginkan. Di masa depan, anak terlatih untuk mempertimbangkan dengan matang sebelum memutuskan sesuatu. Hal ini bisa mempengaruhi banyak aspek hidupnya, seperti pola hidup yang sehat, penggunaan uang, hingga komitmen dalam hubungan.
  • Memiliki hubungan yang lebih berkualitas, dengan kematangan emosional. Tentu lebih mudah untuk berhubungan dengan orang yang tenang dibanding mereka yang meledak-ledak, kan? Biasanya, orang dengan kstabilan emosi dapat mengendalikan diri yang tecermin dalam perilaku yang lebih bijaksana. Ia bisa bertutur kata dan bertindak sesuai dengan tempat dan lawan bicaranya sehingga memiliki hubungan yang cenderung lebih baik. 
Tidak hanya pada anak, kemampuan ini juga bisa kita kembalikan pada diri kita sendiri. Bandingkan antara orang yang impulsif harus mendapatkan apa yang ia mau saat itu juga dengan orang yang bisa bersabar dalam mendapatkan apa yang ia inginkan. Di antara dua tipe tersebut, mana yang menurut kita lebih baik? Tipe mana yang kita harapkan ada pada anak kita? Lalu, bawakan ke diri sendiri. Sudah cenderung menjadi orang seperti apa kita sebagai teladan bagi anak-anak ini?


Kiat Menerapkan pada Anak

Dengan memahami berbagai manfaat dari delayed gratification tadi, harusnya tidak ada lagi keraguan untuk menerapkan ajaran ini pada anak-anak kita. Mungkin masih asing istilahnya bagi kita, namun saya yakin ajaran ini sudah ada sejak zaman dulu. Orang tua yang menyuruh kita bersabar, meminta kita untuk menabung sehingga bisa membeli sendiri apa yang kita mau dengan tabungan tersebut, atau nasihat-nasihat bahwa kita tidak selalu bisa mendapatkan apa yang kita mau, apalagi saat itu juga. 

Maka, berikut beberapa cara yang juga saya coba praktikkan pada anak agar mereka bisa menjadi orang yang menunda kesenangan atau delayed gratification:

  • Menjadi teladan. Ini akan selalu menjadi kiat nomor satu ketika kita memberikan ajaran pada anak-anak. Mereka belajar dengan meniru. Maka jadilah sosok yang pantas ditiru. Perlihatkan pada anak kita yang bersabar dalam mendapatkan yang kita inginkan. Sampaikan terus, sounding ke mereka, ulang-ulang cerita bagaimana kita menunggu dengan sabar.
  • Ingatkan anak tentang proses. Hal ini bisa disampaikan melalui kisah ataupun praktik langsung. Ajak anak memasak, misalkan. Buat mereka paham bahwa makanan yang terhidang di meja tidak serta merta ada, namun butuh proses panjang untuk mendapatkannya. Ajak mereka membuat kerajinan tangan, sehingga mereka melihat langsung mainan yang mereka terima juga butuh waktu dan usaha dalam pembuatannya. Atau belanja daring, sehingga anak tahu butuh waktu beberapa hari dalam pengiriman sehingga apa yang diinginkan sampai di tangan.
  • Biasakan memberi anak jeda saat menginginkan sesuatu. Jika bukan hal yang mendesak seperti makanan ketika lapar, coba buat anak menunggu dulu. Tidak serta merta langsung memberikan apa yang ia mau. Buat keadaan di mana ia harus memenuhi dulu sesuatu sebelum mendapatkan sesuatu. Misalkan membereskan mainan terlebih dahulu sebelum ia diperbolehkan menonton. Atau temani ibu berbelanja dulu sebelum mampir ke toko mainan. Bisa juga dengan membiasakan anak dengan kalimat jika-maka. Jika anak mau hak, maka penuhi dulu kewajiban. 
  • Buat semacam tantangan yang menjadikan aktivitas menunggu atau menunda anak menjadi lebih seru.  Misalkan mengajak ia membuat cemilan kesukaan atau mengajarinya menabung. Permainan jika-maka tadi juga bisa dibuat dengan lebih seru, seperti jika anak mau mainan maka ia perlu menyapu teras rumah selama seminggu. Dengan begitu anak bisa belajar untuk menunda kesenangan sekaligus kerja keras untuk mendapatkan sesuatu. 

  • Apresiasi usaha mereka. Kita tidak ingin anak yang hanya fokus pada hasil yang mereka dapatkan, maka coba untuk mengapresiasi proses yang mereka lalui. Apresiasi ketika mereka mau menunda, semangati mereka, bisa pula temani mereka dalam prosesnya. 

Saya yakin setiap kita menginginkan anak yang memiliki kematangan emosional dengan kemampuan menunda kesenangan, namun kadang praktiknya malah kita lupakan dalam keseharian. Orang tua yang tidak tahan mendengar tangisan anak sehingga memberi saja apa yang ia mau, orang tua yang malu dengan teriakan anak di tempat umum sehingga mengabulkan terus apa yang ia inginkan. Padahal, saat itu adalah waktu yang tepat bagi mereka belajar, sehingga terlatih untuk bisa mengendalikan diri. Biarkan mereka mengekspresikan kekesalan atau kesedihannya, selagi tidak merusak atau menyakiti, beri mereka ruang dan waktu. Pelan-pelan mereka akan belajar dan paham. Maka, inilah yang menjadi catatan paling awal untuk orang tua. Jauh sebelum kita mengajarkan mereka tentang pengendalian diri, kita sendirilah yang harus bisa mengendalikan diri. 



Salam, Nasha

0 Comentarios

Mau nanya atau sharing, bisa disini!