Sekali lagi, Korea membuktikan kelasnya dengan menghadirkan drama yang tidak hanya menghibur, tapi juga menyinggung kondisi sosial sekaligus memberi kita pelajaran. Seolah belum cukup dengan visual yang memanjakan mata, drama ini juga dilengkapi dengan bumbu komedi tanpa adegan yang terlalu 'ngilu' disaksikan. Delapan orang dalam delapan lantai yang dipertontokan selama delapan episode, The 8 Show hadir dalam genre psychology thriller, dark comedy dengan plot survival. Singkatnya, ini termasuk salah satu drama yang cukup memuaskan dan akan saya rekomendasikan.
Sinopsis
Hampir semua dengan unsur delapan, drama ini menceritakan tentang delapan orang yang bertahan hidup di suatu gedung berlantai delapan. Selama delapan episode kita dijadikan penonton yang menebak-nebak kemana arah cerita ini akan dibawa. Sedangkan para pemain, yang memang adalah orang-orang yang membutuhkan uang tersebut, akan dibayar per menitnya. Jadi uang mereka akan terus berambah seiring dengan banyaknya waktu yang mereka habiskan disana.
Konflik mulai terjadi ketika para pemain saling bertemu dan mengunjungi kamar masing-masing. Dari sanalah mereka mengetahui perbedaan kondisi kamar sesuai dengan lantai yang secara acak mereka pilih. Kamar lantai satu adalah yang paling kecil dengan upah yang paling rendah. Sebaliknya, kamar lantai delapan yang paling luas sekaligus upah yang paling tinggi. Perhitungan upahnya menggunakan teori fibonacci yang menjumlahkan dua lantai sebelumnya.
Hal yang membuat cerita ini menarik adalah kepribadian dan tingkah para tokohnya. Lantai delapan yang suka menghamburkan uang, lantai tujuh yang paling pintar, lantai enam yang suka berkelahi, lantai lima yang paling tidak tegaan, lantai empat yang cerewet, lantai tiga yang paling biasa, lantai dua yang terlihat kasar namun baik hati, serta lantai satu disabled yang baik hati. Saya menggambarkan lantai tiga (Ryu Jun Yeol) sebagai yang paling biasa sesuai dengan bakat yang ia tunjukkan dan tidak adanya hal menonjol yang ia miliki. Tokoh lantai tiga ini seolah mewakilkan mayoritas orang, tanpa bakat istimewa, tidak ada sifat yang menonjol, namun kadang bisa diandalkan juga.
Untuk mengumpulkan uang, mereka bekerja sama menambah waktu. Sejak awal tidak tahu apa-apa mengenai caranya, lalu menebak dengan berlari menaiki tangga, hingga tahu bahwa pertunjukan menariklah yang akan menambah waktu mereka. Seolah para penoton yang puas dengan apa yang mereka tunjukkan akan menambah waktu mereka. Konflik delapan orang dengan latar belakang yang berbeda ditambah dengan usaha mereka menambah waktu sekaligus mengumpulkan uang yang dilengkapi dengan bumbu komedi membuat drama ini sangat layak disaksikan.
Sedangkan saya merasa paling attached dengan drama ini karena penokohan dan lokasi lantai yang disesuaikan dengan kondisi masyarakat kita. Mereka yang dilantai atas, memiliki lebih banyak uang, lebih berkuasa, meskipun yang rajin bekerja adalah yang lantai bawah. Bahkan ada masanya mereka yang dilantai bawah saja yang bekerja, dan lantai atas hanya menikmati hasil yang jauh lebih banyak. Terasa tidak asing kan?
Pelajaran
Penokohan yang sesuai dengan lantai itu yang menjadikan drama in semakin layak disaksikan sekaligus membuat saya semakin sebal. Seperti tertampar kenyataan. Drama in menjadikan kita sebagai penonton yang haus pertunjukan, menantikan konflik, menunggu adegan dramatis. Dengan begitu kita akan terus menonton, dengan begitu waktu mereka akan ditambah seiring dengan upah mereka yang juga bertambah.
Adanya jalur distribusi dari atas ke bawah juga menambah persoalan dalam kisah ini. Lantai delapan sebagai titik awal distribusi makanan bisa saja tiba-tiba menghentikan distribusi tersebut. Lantai selanjutnya juga bisa saja mengambil apa yang ada tanpa menyisakan apapun untuk lantai dibawahnya. Lantai satu hanya bisa menerima apa yang diberi oleh lantai diatasnya.
Ini hampir sama dengan apa yang terjadi dalam kehidupan kita. Ada hal-hal yang memang sudah digariskan, tidak peduli sekeras apapun kita berusaha mengubahnya. Ingat, bagian dimana kamar satu ingin mengganti kamar? Mereka yang diatas, paling berkuasa, memiliki paling banyak uang, meskipun tidak memiliki keistimewaan dan bekerja paling sedikit. Orang yang paling pintar (lantai tujuh) dan mereka yang paling kuat (lantai enam juga lantai dua) juga tidak bisa berkutik pada kekuasaan lantai delapan. Apalagi yang tidak memiliki apa-apa seperti lantai tiga. Namun ditengah itu, ada orang seperti lantai 4 yang bisa cepat berubah untuk ikut kemana ia akan merasa diuntungkan.
Pada akhirnya, drama ini ditutup dengan cukup memuaskan, setidaknya bagi saya. Semua mendapat akhir yang cukup sesuai. Seperti lantai delapan yang tidak bisa menghargai apapun, baik itu uang atau kerja keras, yang berujung pada kejadian tidak menguntungkan. Lantai enam yang pulang dalam kondisi nahas. Lantai-lantai bawah yang berusaha tetap baik juga mendapatkan akhir yang sepadan.
Mungkin apa yang bisa saya ingatkan pada diri sendiri adalah untuk tidak perlu membandingkan apa yang kita dapat dengan apa yang orang lain miliki. Karena memang begitulah garisnya, tidak peduli setidak adil apapun itu kelihatannya. Memang begitulah yang terjadi, dan kita hanya bisa memaksa diri untuk berpuas dengan apa yang kita miliki.
Salam, Nasha
2 Comentarios
Menarik banget ini...belum nonton akutuuu..pesan moralnya bagus, ada hal-hal yang memang sudah digariskan, tidak peduli sekeras apapun kita berusaha mengubahnya, juga pesan lainnya
BalasHapusmerasa tertampar dengan kenyataan sih kak.. sebel sih pas lihat tokoh2 dan ceritanya begitu tp ternyata kenyataan emang gt..
HapusMau nanya atau sharing, bisa disini!