Kebiasaan yang sering kita lakukan pada momen hari raya begini adalah berkunjung ke rumah kerabat juga sanak saudara. Sekali dalam setahun, kita seperti memiliki waktu khusus untuk menjalin silaturahmi, bertukar kabar, bersuka cita dengan saling berbagi. Kadang kelelahan, tapi hati kita terisi penuh, tidak peduli kita tergolong ekstrover ataupun intorover. Ternyata, menjaga silaturahmi begini penting untuk hidup kita, sama pentingnya dengan kita menjaga diri sendiri. Kita coba bahas bagaimana pentingnya menjaga diri dan silaturahmi ini dalam kehidupan kita sebagai manusia, makhluk sosial.
Silaturahmi
Mulai dari bulan ramadhan hingga lebaran ini, sepertinya kita perlu mengosongkan jadwal untuk menghadiri pertemuan-pertemuan yang berhimpitan. Ada yang dengan teman sekolah, teman kantor, sahabat, teman seperntauan, dst dalam bingkai buka bersama atau halalbihalal. Seolah berkumpul hanya bisa dilakukan dalam momen itu saja. Tidak jarang, ada orang-orang yang memang hanya kita temui dalam kedua agenda itu saja.
Berbeda dengan tradisi buka bersama, tradisi halal bihalal ternyata hanya ditemuakn di negara kita saja. Ada banyak dugaan tentang asal usulnya, namun secara terminologi, halal bihalal (halla al-habl) bisa didefinisikan sebagai mengurai kembali benang yang kusut atau kita artikan untuk memperbaiki hubungan, mempererat tali persaudaraan, merawat kekerabatan. Meskipun tradisinya hanya ditemukan disini, namun anjuran untuk silaturahmi sudah ada sejak zaman dahulu, bahkan Rasulullah telah memberi teladan dengan beberapa hadits tentang keutamaan bersilaturahmi. Selain sebagai bentuk kesetiaan kita pada apa yang dilakukan Rasulullah, yang membuahkan ridha Allah, menyambung silaturahmi juga punya banyak manfaat lain, seperti memperluas rezeki, menambah berkah usia, menjadikan pelajaran hidup, serta menyehatkan jiwa juga raga. Ajaran tentang silaturahmi seakan menyatu dengan budaya ketimuran kita yang kolektif, melahirkan tradisi-tradisi istimewa dimomen ramadhan dan lebaran.
Agenda-agenda silaturahmi tersebut bisa jadi saat yang tepat bagi kita merefleksikan hubungan yang kita punya. Dengan keluarga dekat, dengan keluarga besar, dengan tetangga, dengan sahabat, teman, juga kerabat lainnya. Apakah hubungan itu cukup untuk membuat kita terdorong menjadi lebih baik atau lebih buruk. Apakah hubungan itu menjadi hal yang melegakan atau malah menjadi beban. Apakah hubungan itu bisa membuat kita terbuka apa adanya atau malah sibuk berpura-pura. Tidak harus memilih, karena bisa jadi kita punya semuanya dalam hidup ini. Bisa jadi dengan seorang teman kita bisa apa adanya, tapi dengan keluarga besar kita berpura-pura. Bisa jadi juga ada teman yang memotivasi kita untuk bekerja lebih jujur tapi ada juga yang membuat kita memikirkan untuk berbuat curang saja.
Menyadari sedang ada difase mana hubungan kita dengan seseorang, membantu kita untuk lebih bijak menyikapi hubungan dan bagaimana merespon interaksi yang hadir diantaranya. Jika memang berharga dan baik untuk diri, bisa kita perjuangkan. Sebaliknya, jika sekedar kerabat yang banyak sungkannya, bisa kita abaikan. Ini juga akan membantu kita menghadapi kalimat-kalimat yang sering berujung menyakitkan hati, mana yang perlu kita tanggapi, mana yang masuk telinga kanan keluar telinga kiri.
Fenomena silaturahmi yang cukup menjadi bahan tak habis pikir untuk saya belakangan ini datang dari bersiliwerannya penawaran sewa iphone dan lanyard BUMN, serta fakta bahwa usaha mereka laku alias banyak yang menyewa. Alasannya beragam, ada yang untuk dokumentasi karena kualitas kamera iphone lebih mumpuni, tapi tak jarang juga yang karena gengsi. Rentang usia penyewa juga beragam, ada yang masih remaja, ada juga yang sudah tergolong dewasa. Mengherankan memang, namun ditengah era sosial media yang memperlihatkan sisi baiknya hidup saja, rasanya hal ini semakin mudah dimaklumi.
Jadi, silaturahmi memang memiliki segudang manfaat dan sangat dianjurkan baik yang tertuang langsung dalam Al Quran maupun dalam hadits Rasulullah. Tapi bagaimana kita menjalani hidup dan menyikapi hubungan ternyata cukup membuat silaturahmi menjadi perkara yang perlu diberi catatan. Sejauh mana silaturahmi perlu dijalin, sampai batas mana kita menghadapi, dan apa saja hal-hal yang patut dan tidak patut didalamnya.
Jaga Diri dan Silaturahmi
Dulu, mungkin kita hanya tahu dengan fenomena orang yang memaksakan pulang terlihat gemerlapan, bisa dengan mengendarai mobil baru, mengenakan perhiasan berlebihan, yang ingin menunjukkan betapa suksesnya diri ini. Sebenarnya sekarang fenomenanya tak jauh dari sana, hanya menyesuaikan dengan kondisi, seperti menggunakan ponsel terbaru, aksesoris perusahaan besar, pakaian merk terkenal, dsb. Jika kita lihat dari jauh, rasanya perilaku semacam ini sama sekali tidak sehat, dengan heran mempertanyakan, untuk apa menjalin hubungan yang tidak apa-adanya?
Bisa jadi tidak sama sekali, tapi bisa jadi juga kita melakukannya. Membeli barang yang terlihat merk-nya agar dianggap mampu mengikuti tren, memaksakan cicilan agar bisa membeli perangkat yang terbaru, menunda membayar yang sebenarnya lebih penting agar bisa membayar yang terlihat lebih penting. Maka, kita perlu mengingat dan saling mengingatkan tentang beberapa hal yang bisa kita jadikan catatan berkaitan dengan acara kumpul-kumpul yang kita lakukan.
- Menjaga Batasan
Kita memang berteman dengan siapa saja tapi kita perlu menentukan sendiri lingkaran mana yang kita inginkan dalam hidup. Sehingga, tidak apa jika kita ingin mengklasifikasikan kenalan, ada yang bersahabat dekat, ada yang teman satu lingkungan, ada yang pernah berteman, ada yang sekedar kenal, ada yang sebatas tahu saja. Dari sana, kita bisa memilah mana yang perlu rutin ditemui, mana yang berjumpa saat reuni, mana yang sebatas berpapasan tidak sengaja saja. Menjaga semua hubungan juga tidak memungkinkan mengingat waktu dan tenaga kita yang terbatas.
Batasan ini juga termasuk pada menentukan mana yang omongannya perlu disimak, mana yanng perlu didengar, mana yang sambil lewat saja. Jika mereka bukanlah orang dekat, tahu sedikit sekali tentang kita, lalu mengomentari hidup kita, sudah tahu kan harusnya tidak kita ambil hati? Jangan malah terbalik-balik, omongan keluarga dekat dibantah, omongan kerabat jauh dipikirkan siang malam.
Mungkin ada saatnya kita ingin berpura-pura, menampakkan hidup yang baik-baik saja, sehingga mengusahakan aksesoris sewaan agar apa yang kita ceritakan terlihat semakin nyata, tapi jika hubungan yang dipunya sudah tidak jujur sedari awal, apa masih layak dipertahankan? Jika menjadi diri sendiri saja kita tidak bisa, apa benar begitu hubungan yang kita inginkan?
- Hubungan Memang Merepotkan
Hubungan sesama kita itu transaksional, sekeras apapun kita berusaha menampiknya. Tidak usah repot menyangkal bahwa semua berbekal ketulusan. Kita berteman karena mendapat kesenangan, karena bisa mengobati kesepian, karena memiliki kesukaan yang sama, karena bisa mengharap bantuan. Memang begitu adanya. Jadi, terima saja kalau hubungan itu merepotkan, membutuhkan waktu dan tenaga, butuh perhatian, butuh pertemuan, butuh telinga yang siap mendengarkan, butuh ucapan, butuh bingkisan.
Sebenarnya, hanya kita masing-masing yang tahu hubungan yang kita punya membutuhkan apa saja. Jika sekarang sedang marak berkirim hampers, kita yang tahu teman mana saja yang butuh dan mana yang tidak. Jika sekarang apa-apa ada update-an di media sosial maka hanya kita yang tahu mana yang perlu di-update dan mana yang tidak. Begitu juga, ikita yang paling paham mana teman yang butuh bantuan mana yang tidak dan bantuan seperti apa yang mereka butuhkan. Kadang kita yang memberi, kadang kita menerima, sama-sama merepotkan, tidak apa.
- Berlapang Dada
Kita tidak bisa mengontrol orang lain, apa yang mereka lakukan, apa yang mereka katakan, jadi berlapang dada saja menerima bahwa kadang ada orang yang bertingkah menyebalkan, ada teman yang sedang kelelahan, ada sahabat yang punya prioritas lain, tidak apa-apa. Kita juga kadang bisa berlaku demikian, menyebalkan bagi orang lain, tidak sesuai dengan harapan teman, tidak bisa membantu sahabat, tidak bisa hadir saat benar-benar dibutuhkan.
Dalam banyak hal, mungkin hampir semuanya, berlapang dada ini adalah kunci. Bentuk pengakuan bahwa memang tidak semua hal bisa kita kendalikan, bahkan tidak ada yang benar-benar bisa kita kendalikan. Lakukan apa yang bisa ita lakukan, bertegur sapa, menjawab sopan ketika ditanya, membatasi diri dari interaksi, berusaha memperbaiki hubungan, dst. Hasilnya akan bagaimana, tinggal serahkan. Maka, ingat saja bahwa kehidupan tenang dan damai itu kita sendiri yang tentukan ukurannya, kita yang usahakan, dan Tuhan yang berikan.
Salam, Nasha
0 Comentarios
Mau nanya atau sharing, bisa disini!