Masa pemilihan umum sudah selesai. Kita yang awalnya berdebat karena berbeda pilihan, perlahan belajar menerima apapun hasilnya, meski tugas kita belum selesai. Bukan hanya untuk mengawal hasil akhir pesta demokrasi ini agar berjalan jujur dan adil, tapi juga terus mengawasi pemerintahan, mengoreksi pekerjaan mereka hingga menuntut apa yang memang sudah menjadi hak kita. Hidup kita secara langsung ataupun tidak, akan dipengaruhi oleh apa yang mereka kerjakan. Sehingga wajar jika kita perlu mengerti politik, membahas kebijakan, mengkritik pemerintahan. Politik sejatinya adalah milik kita semua, termasuk para ibu, baik yang berkarir di luar rumah maupun di dalam rumah.
Politik
Merujuk pada KBBI, definisi politik adalah pengetahuan mengenai ketatanegaraan; segala urusan dan tindakan mengenai pemerintahan negara. Sedangkan wikipedia merumuskan politik, yang merupakan serapan dari bahasa belanda, sebagai proses pembentukan dalam masyarakat yang berwujud proses pembuatan keputusan khususnya dalam negara. Dari sini, bisa kita ringkas politik sebagai bagian dari jalannya pemerintahan, dimana sebagai warga negara kita termasuk pihak yang berkaitan dengan jalannya ketatanegaraan tersebut. Apalagi dalam sistem pemerintahan kita yang berlandaskan pada pilihan rakyat. Mereka yang menjalankan roda pemerintahan bukan dari keluarga tertentu saja, tapi dipilih langsung oleh mayoritas masyarakat.
Dengan jumlah pemilih lebih dari dua ratus juta orang di ribuan pulau yang tersebar di seluruh wilayah, Indonesia menjadi negara dengan pemungutan suara sehari terbanyak di dunia. Ini bisa menjadi kebanggaan sekaligus pengingat bahwa kelancaran pemilu perlu ditambahkan dengan banyak catatan. Mulai dari pengawalannya yang harus ketat dari hulu hingga ke hilir sampai pada pengesahan hasil akhir yang bisa diterima dengan damai. Bagaimana pemimpin yang awalnya 'hanya' dipilih oleh sebagian besar rakyat, tapi bisa diterima oleh seluruh rakyat.
Sama seperti bentuk kehidupan bersama lainnya, setiap kelompok membutuhkan pemimpin dan mereka yang mau dipimpin. Bukan yang sempurna, bukan yang tiada cacatnya, tapi yang memiliki visi sejalan dengan yang kita inginkan. Mungkin tidak sama persis, tapi setidaknya mendekati. Maka wajar jika kemudian semakin santer terdengar, pemimpin adalah cerminan rakyatnya. Karena kita-lah yang memilih mereka.
Pentingnya Hubungan Politik dan Ibu
Pengetahuan diatas mungkin sudah sebagian besar kita pahami sejak lama. Bisa jadi dari pelajaran di sekolah dulu, bisa jadi dari pemberitaan diberbagai media, atau memang karena ada sebagian kecil kita yang memiliki ketertarikan dengan politik. Iya, sebagian kecil, karena berbagai sumber menyebutkan kurang dari 20% masyarakat berusia 40 tahun kebawah yang tertarik dengan isu politik. Litbang Kompas pada 2022 lalu menghitung sebanyak kurang dari sepuluh persen masyakarat usia 17-35 tahun yang mengikuti isu politik.
Awalnya, saya termasuk dikelompok mayoritas, meski kini tidak merasa sudah ditempat yang mengikuti isu politik juga. Namun setidaknya, keingin tahuan saya tentang kebijakan dan ketatanegaraan sedikit meningkat dibanding waktu-waktu sebelumnya. Saat hanya membaca koran ketika ada kewajiban ujian. Tidak tahu nama pejabat pemerintahan selain pemimpinnya, dan tidak benar-benar paham apa tugas para wakil rakyat itu. Sebagian besar alasan saya karena pemberitaan negatif yang terus hadir, mengikis rasa percaya bahwa mereka benar-benar bekerja mewakili aspirasi mastakarat kebanyakan. Apapun alasannya, keapatisan tersebut tidak bisa dibenarkan.
Setelah menjadi ibu, baru saya paham, bahwa bagaimana negara ini kedepan akan berpengaruh pada apa yang akan dihadang anak-anak saya ini kelak. Ketika memiliki tanggung jawab pada hidup anak-anak, saya tahu aspek-aspek penting, yang seharusnya negara bisa hadir di sana, tapi ternyata tidak benar-benar ada.
Kebutuhan Dasar Hidup
Bisa disebut ini yang paling menyedihkan, bahwa teryata negara tidak bisa benar-benar memberi hak kebutuhan dasar kita, berupa udara dan air yang layak. Udara yang berkualitas baik, air yang layak dikonsumsi. Mungkin kita sudah lupa kapan terakhir kali mengonsumsi air tanpa harus membayarnya. Saking sudah terbiasanya membayar sendiri air untuk minum, kita jadi menganggap itu hal yang wajar saja. Bahkan di kota tertentu, air saja begitu sulit diperoleh. Sebagian lagi, harus mengolahnya dengan mandiri, agar air bisa digunakan untuk keperluan sehari-hari. Begitu juga dengan udara. Langit yang cerah, udara yang layak dihirup bebas, yang tidak dipenuhi polusi.
Belum lagi bahan makanan. Urusan yang sudah kita serahkan pada mereka dengan kapasitasnya, ternyata juga perlu diawasi. Ingat kasus obat batuk anak yang mengakibatkan gagal ginjal akut? Atau pada perkara jajanan yang meningkatkan resiko berbagai penyakit pada anak salah satunya obesitas? Kita memang bisa mengupayakan secara mandiri, mencari informasi lebih giat, mendapatkan uang lebih banyak, tapi tidak setiap kita punya keleluasan untuk hal tersebut, apalagi sebenarnya urusan ini sudah kita serahkan pada mereka yang katanya mau mengabdi pada rakyat itu.
Kualitas Hidup Ibu dan Anak
Saya juga baru tahu, bahwa pembentukan kehidupan seseorang sudah dimulai jauh sebelum ia bisa memutuskan sendiri apa yang ia kehendaki. Perkembangan otak anak telah selesai sebanyak 80% saat masih dalam kandungan. Untuk itu, harus dimulai dari gizi ibu hamil bahkan jauh sebelumnya saat orang tua masih menjadi calon pengantin. Pasangan yang sehat, tidak memiliki penyakit bawaan yang beresiko diturunkan pada naka, dan yang memiliki status gizi baik. Dari mana seluruh informasi itu bisa diakses oleh seluruh lapisn masyarakat, kalau bukan dari pemerintah? Bagaimana masyakarat bisa menjangkau jenis makanan yang lebih sehat jika yang disodorkan setiap saat adalah makanan kemasan dan minuman berlabel susu?
Kita semua tahu, membesarkan anak bukan pekerjaan yang mudah. It takes a village to raise a kid. Jika saja, dalam kesulitan itu, ada fasilitas yang bisa meringankan beban para orang tua, mungkin kita bisa lebih tenang dan fokus mendidik anak. Hari-hari pertama mereka yang bisa diasuh oleh tenaga kesehatan mumpuni, fasilitas kesehatan yang terjangkau tanpa perlu kita khawatirkan biayanya, tempat penitian anak yang terjamin dan mudah diakses siapa saja, hingga pendidikan yang berkualitas tanpa harus berpindah kota. Tampaknya perjalanan negeri kita untuk bisa menyediakan semua itu memang masih panjang dan butuh banyak perjuangan.
Lingkungan Hidup Anak
No future without nature. Berpegng dari kalimat itulah saya mulai memikirkan bumi, memikirkan masa depan dengan bertanya, kira-kira bagaimana anak-anak saya akan bisa tetap hidup jika bumi akan terus memanas seperti ini? Apa yang akan mereka makan, dimana mereka akan tinggal, penyakit apa lagi yang akan mereka hadapi, alat apa lagi yang perlu mereka upayakan sendiri. Mungkin saat ini kita bisa bergerak sendiri-sendiri, memilah sampah dari rumah hingga menghemat energi, tapi coba bayangkan penggunaan energi fosil ditekan, pemerintah menggalakkan penggunaan panel surya, semua bank sampah bergerak aktif lengkap dengan instruksi pilah sampah dan anjuran membawa wadah sendiri. Mulai dari kantor pemerintahan dari pusat hingga ke daerah. Sayang hingga kini, tidak tampak keseriusan dalam menangani isu ini.
Lingkungan anak ini bukan hanya tentang kondisi alam yang menaungi kita, tapi juga semua hal yang mengelilingi anak-anak. Bagaimana pendidikan mereka, seperti apa orang-orang yang ada di lingkungan tempat mereka berada, amankah mereka saat tidak berada dalam radius penglihatan kita, siapa yang bisa kita percaya untuk mengasah bakatnya, bagaimana dengan penyedia makanan mereka, vaksin apa yang harus mereka dapatkan, hingga pada nilai kesetaraan, keadilan, dan kebaikan yang ingin kita tanamkan.
Baca Juga: Harapan Orang Tua pada Pendidikan, Kesehatan, hingga Kesejahteraan Sosial
Isu-isu diatas sangat dekat kaitannya dengan kehidupan kita sehari-hari, sedekat urusan dapur saat harga bawang, cabai, atau minyak naik. Ada kehidupan lain yang juga sedang kita perjuangkan, yaitu kehidupan anak-anak kita saat ini dan perjalanan panjang nanti. Jika kita memberi perhatian pada isu-isu tersebut, sebenarnya ini sudah menjadi urusan petugas kenegaraan, bersinggungan dengan politik. Siapa yang berinisiatif mewakili rakyat, apa tujuannya, isu apa yang ingin ia perjuangkan, siapa saja orang yang mendukungnya, siapa yang akan memimpin ratusan juta orang ini, kebijakan seperti apa yang akan semakin memungkinkan kita mendapatkan hak-hak kita sebagai warga negara.
Tidak apa jika kita terlambat memulai, daripada terus menerus hanya mengeluh, menuntut, dan menyalahkan. Mulai dengan beberapa langkah sederhana ini:
- Berhenti apatis. Segala konflik kepentingan yang disuguhkan para penguasa pada kita ini memang melelahkan. Belum lagi, media yang kadang berbeda antara yang satu dengan yang lainnya. Wajar, jika kita merasa ingin menyerah, tapi tidak bisa dibenarkan jika kita benar-benar menyerah dan berhenti peduli. Bagaimanapun, kita bersama-sama tetap punya kuasa. Salah satunya ya menyadari bahwa satu suara kita berarti. Protes kita di dunia nyata ataupun dunia maya mendapat sorotan. Obrolan kita dengan kenalan juga bisa membuka banyak pikiran.
- Banyak belajar. Tidak terbatas hanya pada siapa saja yang menjabat tapi lebih pada kebijakan apa yang sedang mereka garap. Apa yang menjadi perhatian didalam juga luar negeri, bagaimana kondisinya. Apa yang pernah terjadi, apa kemungkinan yang akan terjadi. Baca data, bukan video pendek. Lihat secara utuh, jangan sepotong saja. Dari sana kita bisa lebih mengerti, bahwa satu yang terjadi ternyata punya banyak lapisan faktor dibelakangnya.
- Berlatih untuk bersuara. Sebagai perempuan, sering kali suara kita kalah nyaring dengan laki-laki, bahkan sejak dari dalam rumah. Apalagi jika kita tidak punya peran tambahan yang didapat dari luar rumah, seolah apa yang kita pahami tidak cukup untuk kita bisa berpendapat. Tapi lakukan saja, karena semakin kita sering bersuara, semakin kita banyak mendengar serta membaca, semakin pikiran kita terbuka.
0 Comentarios
Mau nanya atau sharing, bisa disini!