Jepang punya Kamikatsu, Kita Punya Sanur Kauh dan Kesiman Kertalangu sebagai Desa Zero Waste
Salah satu isu lingkungan yang masih menjadi pekerjaan besar kita adalah pengelolaan sampah. Bagaimana agar barang-barang yang kita gunakan tidak menambah tinggi tumpukan di pembuangan akhir yang berdampak buruk, seperti menurunnya kualitas hidup hingga menimbulkan berbagai macam penyakit. Desa Kamikatsu di Jepang terbukti berhasil dalam pengelolaan sampah yang mereka hasilkan, dengan predikat sebagai Zero Waste City pertama di dunia. Tapi ternyata, ada juga dua desa di Bali yang dinobatkan sebagai desa bebas sampah oleh Kemendagri. Sebenarnya, konsep Zero Waste City sendiri sudah lama dikenalkan sebagai saah satu solusi berkelanjutan untuk hidup yang lestari.
Desa Zero Waste
Desa Kamikatsu berada di wilayah Jepang bagian barat, merupakakan daerah pertama yang menyatakan keberhasilannya dalam pengelolaan sampah di dunia. Berjarak sekitar 600km dari Kota Tokyo, salah satu keberhasilan kamikatsu yang paling menarik perhatian adalah menggunakan kembali 80% dari barang-barang yang sudah dibuang. Titik awal yang menjadi penanda bagi Kamikatsu sebagai percontohan area bebas sampah adalah komitmen mereka pada tahun 2003 untuk menjadi zero waste city pertama di dunia.
Melansir laman waste4change, Jepang di tahun 1960 hampir sama dengan negara lainya yaitu negara yang fokus pada industri dan perekonomian akibat perang yang cukup merugikan mereka. Perindustrian telah menghasilkan banyak sampah dan limbah, yang berujung pada polusi dan merugikan kehidupan masyarakat. Berangkat dari kondisi itulah, timbul kesadaran masayarakat untuk lebih peduli dalam gerakan chonaikai. Singkatnya, gerakan ini berarti mengurangi pembuangan sampah, menggunakan kembali barang yang bisa digunakan, dan mendaur ulang. Bertahun-tahun kemudian, dengan semakin nyatanya dampak sampah dan penyakit yang ditimbulkan, barulah pemerintah mulai menganggap isu lingkungan sebagai prioritas yang harus diutamakn sehingga lahirlah Basic Law for Promotion of the Formation of Recycling Oriented Society. Peraturan ini buan hanya mengatur tentang daur ualng namun berisi berbagai informasi agar sampah tidak serta merta berakhir di tempat pembuangan akhir. Setiap warga Jepang diberi informasi yang mumpuni tentang pengelolaan sampah hingga instruksi detail penyortiran setidaknya sekitar 518 jenis barang. Sampai sini, kita paham bahwa baik pemerintah maupun masyarakat Jepang berhasil belajar dari pengalaman, bagaimana dampak negatif dari pengabaian lingkunagn telah merusak kehidupan mereka juga.
Pada awalnya, warga desa membakar sampah untuk mengurangi tumpukan sampah di tempat pembuangan. Namun, karena polusi yng ditimbulkan, akhirnya mereka beralih untuk mendaur ulang yang secara ekonomi juga lebih menguntungkan. Mereka memulai dengan mengelompokkan sampah menjadi 9 kategori, hingga saat ini mereka sudah terbiasa mengelompokkan 45 kategori sampah.
Pertama-tama sampah dari rumah harus dipastikan bersih sebelum dibawa ke tempat penyortiran, lalu tempatkan sesuai dengan kategorinya masing-masing. Selain tempat penyortiran, Desa Kamikatsu juga memiliki toko khusus di balai desa yang menerima dan menyediakan barang bekas layak pakai. Kadang, barang bekas juga dibah menjadi kerajinan tangan lalu dijual kembali. Tingkat daur ulang desa ini mencapai 80% jauh lebih tinggi dari tingkat nasional Jepang yang hanya di angka 20%.
Baca Juga: Quality Over Quantity, Kenapa Kita Perlu Mengutamakan Produk Berkualitas dan Tahan Lama
Di Indonesia sendiri, Desa Sanur Kauh dan Desa Kesiman Kertalangu di area Denpasar telah mendapat pengakuan dari Kementerian Dalam Negeri sebagai Desa Zero Waste, berkat keberhasilannya dalam mengelola sekita tiga ton sampah sehari. Meskipun belum benar-benar menerpkan 0% sampah, setidaknya ada penurunan signifikan dikedua desa ini dalam sampah yang mereka hasilkan. Masyarakat pun sudah memiliki kesadaran dalam memilah sampahnya dalam kelompok organik yang berujung sebagai pakan ternak serta kelompok anorganik yang di;ilah kembali dan diolah dalam TPST (Tempat Pengolahan Sampah Terpadu).
Dalam kondisi perubahan iklim yang semakin memprihatinkan dan tumpukan sampah yang sudah semakin menggunung hingga berbagai dampak buruk yang ditimbulkan, konsep Zero Waste City dipandang sebagai salah satu solusi berkelanjutan dalam mengatasi masalah tersebut. Dengan pengelolaan sampah, barang-barang yang awalnya tidak bisa digunakan bisa digunakan kembali atau didaur ulang sehingga bisa bermanfaat dalam wujud lainnya. Dengan zero waste kita meminimlisir barang-barang yang berakhir sia-sia tidak dimanfaatkan, apalagi hanya menambah volume di tempat pembuangan.
Untuk diingat kembali, penumpukan sampah setidaknya memiliki efek buruk seperti:
Tidak sulit sebenarnya mencari dampak negatif dari penumpukan sampah ini. Bahkan beberapa wilayah yang sudah ditetapkan sebagai tempat pembuangan akhir sudah atau hampir melampaui kapasitas penampungannya. Dengan puluhan juta ton sampah yang dihasilkan dalam satu hari dan tidak sampai 10% yang didaur ualng, fakta ini bukanlah hal yang mengherankan. Yang mengherankan adalah bagaimana kita tetap bisa hidup menumpuk sampah tanpa rasa bersalah dengan keadaan seperti ini?
Bagaimana Memulai Rumah Tangga Zero Waste
"Tidak apa terlambat, daripada tidak sama sekali."
Tantangan utama dari mewujudkan zero waste adalah psimisme dari masyarakat sendiri yang menyangsikan bisa hidup tanpa menghasilkan sampah. Sebenarnya, ini bukan hal yang mustahil. Tapi akan sangat sulit dilakukan jika kitia bergerak langsung menuju bebas sampah. Lakukan dengan bertahap, selangkah demi selangkah. Mulai dulu dengan mengurangi sedikit demi sedikit agar tidak sulit, dan jangan menyerah dalam prosesnya.
Membentuk zero waste city memang tidak bisa kita lakukan sendiri, harus ada kerja sama dari seluruh pihak. Dari pemerintah setempat yang memimpin dan mengarahkan, serta pihak masyarakat yang melakukannya secara bertahap dan bahu membahu. Tapi jika kita hanya menunggu inisiatif pemerintah yang tidak tahu kapan munculnya, maka kita akan diam di tempat. Lebih baik kita coba untuk berangsur melakukan, dari rumah sendiri dengan bercermin dari bagaimana warga desa zero waste melakukannya. Beberapa kiat penting yang bisa kita praktikkan antara lain adalah:
Kenyataan di lapangan memang masih banyak kendala yang kita temui saat ingin mengelola sampah. Misalkan dengan kehadiran bank sampah yang tidak mudah terjangkau. Di wilayah saya, ada beberapa bank sampah terdaftar tapi didapati dalam keadaan tutup, kebanyakan karena tidak cukupnya sampah yang disetorkan warga. Ada satu yang cukup aktif, tapi jaraknya sangat jauh. Alhasil biasanya saya hanya membuang di drop box yanga ada di pusat perbelanjaan, yang terakhir dilihat sampahnya juga sudah bercampur tidak sesuai kategori.
Baca Juga: Prinsip hidup Cukup Hingga Pakai Barang Sampai Tidak Bisa Dipakai
Hal seperti ini memang bisa menyurutkan semangat, tapi melihat kembali kondisi bumi dan anak-anak yang akan menjadi penerus nanti, rasanya menyerah saat ini juga berarti menyerah pada kondisi bumi yang kita wariskan. Ini sedikit bentuk upaya dan tanggung jawab kita terhadap rumah yang kita tinggali. Semoga kita selalu bisa selalu bersemangat dan diberi kemudahan dalam melestarikan bumi ini ya!
Salam, Nasha
1 Comentarios
Zero Waste emang issu yang harus terus diangkat biar orang-orang pada melek lingkungan. Masih banyak orng yang sering seenaknya buang sampah sembarangan, bikin gregetan. Mudah2an adanya kampung zero waste ini bisa dicontoh oleh seluruh kampung2 di Indonesia.
BalasHapusMau nanya atau sharing, bisa disini!