Tidak cukup membahas Daily Dose of Sunshine ini hanya dalam satu postingan. Perlu ada tambahan yang membahas secara umum tentang kondisi mental yang digambarkan dalam drama korea tersebut. Karena ada banyak insight yang bisa kita dapatkan disana, baik untuk kita yang mendampingi orang dengan kondisi mental tertentu atau untuk kita secara umum yang hidup bukan hanya dengan raga tapi dengan jiwa.
Setelah dua belas episode berkutat dengan berbagai emosi yang hadir saat menyaksikan para pemain dengan kondisinya masing-masing, saya seperti merasa mendapat banyak pengetahuan umum tentang penyakit-penyakit yang bisa mengganggu kejiwaan seseorang. Bagaimana gejalanya hingga bagaimana gambararan dari apa yang mereka rasakan. Mungkin tidak bisa persis sama, tapi setidaknya ini membuat kita menjadi sedikit lebih mengerti.
Gangguan kejiwaan ternyata ada banyak sekali jenisnya. Ada yang sampai menghalangi penderitanya dalam beraktivitas, ada yang sebenarnya mengganggu tapi tidak disadari oleh penderitanya, ada pula yang harus berhadapan dengan penderitanya sebagai caregiver. Bisa jadi kita masuk ke dalam salah satu kelompoknya. Jadi jangan pernah memandang remeh kondisi mental diri sendiri dan orang lain. Be kind, always. Kita tidak pernah benar-benar tahu apa yang terjadi, tidak pernah benar-benar merasakan kondisi orang itu, dan tidak akan pernah berada dalam kondisi tubuh orang tersebut. Baik pada orang lain, baik juga pada diri sendiri. Sama seperti orang lain, diri kita juga perlu dipedulikan, diberi perhatian.
Ada kalanya, kita tidak sehat, pertahanan tubuh sedang lemah. Lalu terserang virus, menjadi sakit. Sama. Menta kita juga bisa diumpamakan demikian. Ada sesuatu terjadi, menjadi pencetus dari sakit yang muncul. Maka, sakit itu biasa, mendapat pengobatan kejiwaan itu juga biasa, sama dengan mendapat pengobatan karena penyakit pencernaan misalkan. Sama-sama butuh penanganan medis, sama-sama diresepkan obat. Ada beberapa kondisi yang bisa kita mitigasi dengan menghindari pencetusnya atau mengubah pola hidup, ada pula yang perlu pengobatan profesional.
Orang yang sakit tidak perlu diceramahi, tidak perlu nasihat, mereka hanya perlu didukung, mungkin juga ditemani, didengarkan, dikuatkan. Saya sendiri baru tahu bahwa hanya keluarga terdekat yang boleh mengunjungi pasien poli kesehatan jiwa. Berbeda dengan pasien poli lain, yang membolehkan kunjungan kerabat dengan harapan dapat meningkatkan semangat kesembuhan, poli kesehatan jiwa justru membatasi kunjungan dan sifatnya sangat personal, berbeda-beda ditiap kasus pasien. Benar juga, saat kondisi jiwa kita sedang tidak sehat, berinteraksi dengan orang lain, melakukan obrolan basa-basi menceritakan kabar, hingga mendapat tatapan iba adalah hal terakhir yang ingin kita lakukan.
Selain karena kondisi tubuh, yang memang kadang tidak punya energi untuk melakukan apa-apa, kebijakan itu mungkin juga disebabkan oleh pandangan masyarakat terhadap penyakit mental. Masih menganggap bahwa gangguan kejiwaan itu sebagai kasus istimewa, yang penderitanya tidak bisa lagi seperti orang normal pada umumnya, yang ditatap dengan pandangan aneh sampai sinis, yang diperlakukan berbeda bahkan mayoritas dijauhi. Melihat apa yang mereka alami dari serial ini, cukup membuka mata kita untuk memperlakukan semua orang, termasuk pasien penyakit jiwa, dengan sama baiknya. Bahwa penyakit juga ada masanya, bahwa semua kita mungkin membawa penyakit, membawa obat didalam tasnya, tapi kenapa harus memperlakukan obat kejiwaan dengan berbeda?
Pada umumnya, penderita penyakit mental lebih butuh dipercaya. Didukung dari jauh bahwa mereka bisa dan akan sembuh, mereka akan baik-baik saja, dan kita sebagai kerabatnya tidak akan menyerah, akan menunggu kesembuhannya, menerima mereka apa adanya sama seperti sebelumnya.
Ada satu kasus khusus yang cukup membuka mata pada orang yang suka menyakiti diri sendiri. Perilaku ini bisa disebabkan oleh berbagai faktor. Mungkin itu mekanisme dirinya bertahan, mungkin itu cara yang dia tahu untuk menarik perhatian, mungkin itu apa yang ia tahu tentang menghukum diri, macam-macam. Kadang ada yang bis diketahui penyebanya, ada pula yang tidak. Nah, kita tidak bisa terus melarang atau memaksa mereka berhenti. Tidak peduli betapa konyolnya logika itu, betapa menyedihkannya luka mereka, atau betapa ibanya kita. Disini, kita bisa memberi mereka opsi lain, mereka perlu sadar bahwa ada cara lain yang lebih tidak menyakiti. Misalkan daripada melukai dengan benda tajam, beri benda tumpul yang sama bisa membuat pedih. Daripada melukai pergelangan tangan, beri alternatif karet yang menimbulkan sensasi sakit yang sama bagi mereka.
Sedangkan untuk kita yang perlu merawat mental masing-masing, pesan pentingnya adalah untuk mencintai diri sendiri, merawat apa yang telah Tuhan beri, sukai apa yang ada dan tidak ada pada diri kita. Jangan menggantungkan harapan itu pada orang lain. Tidak usah berharap orang lain yang menyukai kita, jangan pernah berpikir untuk menyenangkan semua orang, satu-satunya orang yang perlu kita perjuangkan kebahagiaannya adalah diri kita sendiri. Jika keadaan terada sulit, tidak apa. Jika suatu saat ada hal yang membuat kita berduka, itu wajar. Terima apaun yang kita rasakan, apa yang penting adalah mengelola apa yang kita lakukan bukan apa yang kita rasakan. Saat terasa kewalahan, minta bantuan. Menolak keadaan diri akan membuatnya sulit diobati. Menyangkal bahwa kita sedang sakit justru akan membuat penanganan lebih sulit, akibatnya kita lebih lama sakit.
Saya cukup tersentak dengan kalimat, bagaimana mungkin kamu mengatakan hal yang tidak boleh dikatakan pada orang lain kepada dirimu sendiri? Lalu, terngiang-ngiang setelahnya. Benar juga ya. Kadang kita bisa begitu kejam pada diri sendiri, menggumamkan kalimat-kalimat negatif yang bahkan kita tidak akan tega menyampaikannya pada orang lain. Kenapa kita malah menyampaikannya ke diri sendiri ya? Kadang mengukur-ukur diri, menilai baik atau tidak baik, membuatnya terus merasa kurang. Ke orang lain kita tidak enakan, tapi ke diri sendiri malah seenaknya.
Kalau belum terbiasa, ada satu treatment yang dicontohkan disini, mungkin bisa kita coba. Membuat jurnal pujian. Jurnal yang berisi pujian pada diri kita sendiri. Setiap hari coba tulis apa yang ingin kita puji dari diri kita. Hal-hal kecil apapun. Berterima kasih padanya. Aku memuji diriku karena sudah bangun pagi hari ini. Aku memuji diriku karena berhasil melawan malas untuk olahraga pagi. Aku memuji diriku karena bisa menahan nafsu untuk makan yang tidak baik untuk tubuhku. Lakukan terus.
Jurnaling juga bisa kita lakukan untuk merefleksi diri. Membuat autopbiografi tentang peristiwa-persitiwa apa yang kita rasakan sepanjang hidup. Tuliskan saja kejadian dengan emosi yang paling intens, tanpa peduli urutannya, coba tulis. Lalu, lihat apakah mayoritas emosi-emosi itu? Apakah itu emosi yang kita inginkan? Jika tidak, kita tahu bahwa ada yang keliru. Dengan menulis, kita jug memindahkan apa yang ada di kepala. Membuatnya menjadi sesuatu yang lebih nyata. Bukankah, apa yang nyata jadi lebih mudah juga memperbaikinya?
Sebagai penutup, saya cukup senang dengan kehadiran drama ini. Temanya cukup membuka mata kita tentang penyakit mental dan hidup yang kita semua jalani. Penyampaiannya juga dengan sederhana dan mudah dimengerti. Mungkin beberapa kasus, bisa jadi trigger dimasing-masing kita, jadi jangan memaksakan binge watching dan jangan sampai self diagnosed ya. Nikmati saja pelan-pelan. Selain itu, juga ada selipan humor yang membuat drama ini sebagai hiburan yang semakin layak untuk kita saksikan.
Salam, Nasha
1 Comentarios
Aku nonton ini dan kadang terbersit pikiran, sepertinya aku butuh juga konsul ke psikiater dan sejenisnya. Kadang pas lagi suntuk ada rasa mau nyerah aja. Btw, aku tertarik pada ide jurnaling-nya. Tindakan mengapresiasi diri sendiri. Sepertinya itu bagus deh. Mau ku coba nanti ah
BalasHapusMau nanya atau sharing, bisa disini!