"Tolerance is our way of being a human."
Keberagaman kita sebagai bangsa Indonesia telah banyak mendapat sorotan dunia. Bagaimana kita bisa hidup harmonis dengan berbagai perbedaan yang ada, sebut saja ribuan suku bangsa, ratusan bahasa daerah, enam keyakinan agama, yang tersebar di belasan ribu pulau di Indonesia. Kita bisa hidup harmonis berdampingan tanpa mempersoalkan perbedaan-perbedaan yang jelas tampak. Beberapa kota bahkan menjadi percontohan berkat toleransinya.
Toleransi
Dunia sekarang memang memungkinkan kita untuk lebih terhubung satu sama lain dengan psatnya perkembangan teknologi, namun sayangnya hal itu tidak serta merta dibarengi dengan lebih pengertiannya kita terhadap orang lain. Masyarakat bisa jadi lebih beragam, namun kasus intoleran masih kerap terjadi. Unesco menyebutkan tentang peningkatan kekerasan ekstrimisme serta pelanggaran besar-besaran atas hak asasi manusia. Bahkan, bukan sebatas rasisme, xenofbhia menjadi kasus yang semakin marak.
Ini menandakan bahwa toleransi masih menjadi isu yang penting untuk kita agar bisa hidup bersama-sama, dalam satu bumi yang sama. Delapan miliar orang dengan latar belakang dan keyakinan berbeda, bisa saling merasa bebeas berlaku tanpa menyinggung kebebasan orang lain. Toleransi memang banyak tentang penerimaan kebebasan atas keragaman. Bukan hanya menerima, namun juga menghargai dan menghormati, baik itu keragaman budaya, bentuk ekspresi, hingga cara kita masing-masing menjalani kehidupan. Tapi point yang perlu dicatat adalah bahwa kebebasan yang kita miliki sebagai makhluk Tuhan bukanlah kebebasan yang mutlak, namun adalah kebebasan yang terbatas. Terbatas norma hidup, terbatas pada kebebasan orang lain juga.
Setiap tahunnya sejak ditetapkannya Declaration of Principle on Tolerance pada November 1995, dunia memperingati 16 November sebagai Hari Toleransi Internasional. Catatan Unesco untuk kita ingat bahwa toleransi bukan berarti ketidak pedulian pada perbedaan, namun mengakui hak asasi manusia universal serta kebebasan mendasar orang lain. Sehingga tidak sepatutnya toleransi bersifat pasif, namun harus berupa tindakan, dengan nilai yang harus dijaga dan diajarkan. Unesco juga memberi penekanan pada peran negara dalam mewujudkan toleransi, yakni dengan memenuhi kebutuhan warganya akan hak-hak dasar, seperti pengembangan sumber daya manusia melalui pendidikan, lingkungan yang inklusi, seta peluang yang setara. Dengan negara yang hadir untuk menciptakan tolernasi, harusnya tidak ada lagi warga yang ketakutan, tidak percaya, atau berada dalam kelompok marjinal. Harusnya yang ada adalah pluralisme, partisipasi, dan perhormatan atas perbedaan.
Mungkin Bhinneka Tunggal Ika sudah mendarah daging bagi kita, mungkin keyakinan yang kita anut mendorong kita untuk bisa menerima perbedaan, mungkin ajaran turun temurun telah memupuk kita menjadi pribadi yang bersahaja atas keberagaman. Karena rasanya kita sudah terbiasa dengan perbedaan, ditambah dengan negara atau daerah yang mendukung berbagai bentuk perbedaan tersebut. memfasilitasi bukan hanya satu kelompok namun semua kelompok dengan merata. Celah konflik yang masih ada, harusnya bisa diselesaikan dengan fungsi pemerintah khususnya di daerah dalam menciptakan lingkungan yang toleran, memberi teladan tentang keberagaman, belajar pada daerah-daerah ini sehingga tidak perlu lagi adanya kasus-kasus intoleran apalagi sampai melibatkan kekerasan.
Kota Toleran Indonesia
Mengacu pada Indeks Kota Toleran 2022 yang dirilis oleh Setara Institute, ada sepuluh kota di Indonesia yang dinilai menjadi kota-kota dengan toleransi paling tinggi. penilaian tersebut didasarkan pada empat variabel yakni regulasi pemerintah kota yang dijelaskan dengan melihat indikator seperti rencana pembangunan dan ada tidaknya kebijakan diskriminatif. Variabel selanjutnya yaitu regulasi sosial dengan data ada tidaknya peristiwa intoleransi dan bagaimana dinamika masyarakat terkait isu intoleransi tersebut. Penilaian juga dilihat dari tindakan pemerintah seperti pernyataan pejabat publik dan tindakannya terkait isu intoleransi. Terakhir, demografi sosio keragaman yang melihat heterogenitas dan inklusi sosia keagamaan penduduk.
Singkawang mendapat skor tertinggi secara keseluruhan dan pada tiap variabelnya. Ini mencerminkan keharmonisan dari ratusan ribu penduduk yang menghuni wilayah bagian Kalimantan Barat tersebut. Tidak ada satu kelompok yang mendominasi kelompok lainnya. Suku mayoritas Melayu, Tionghoa, dan Dayak berpadu dengan keyakinan Buddha, Islam, Kristen (Katolik dan Protestan), serta Konghuchu dan Hindu.
Selain Singkawang, ada Salatiga, Surakarta, Semarang, dan Magelang yang terletak di Provinsi Jawa Tengah. Selain itu ada Bekasi, Sukabumi, Kediri, Manado, dan Kupang. Jawa Tengah bisa dikatakan sebagai provinsi paling toleran dengan empat kotanya yang masuk dalam daftar. Mungkin ini juga selaras dengan fakta bahwa kota-kota tersebut juga termasuk kotakota paling nyaman ditinggali.
Sebaliknya, Setara juga mengeluarkan deretan kota yang dianggap paling intoleran se-Indonesia. Entah bagaimana, sebagian besarnya berada di Pulau Sumatera, yaitu Lhokseumawe, Prabumulih, Pariaman, Medan, Banda Aceh, Sabang, Padang. Selainnya adalah Mataram, Depok, dan Cilegon. Padahal, pada umumnya suku yang menghuni Pulau Sumatera juga adalah Suku Melayu, sama dengan mayoritas suku di Singkawang.
Bisa dikatakan, ada faktor lain yang menyebabkan gap ini. Menariknya saya pernah tinggal di salah satu dari deretan kota paling toleran dan salah satu dari deretan kota intoleran tersebut. Karena hidup sebagai kelompok mayoritas, saya tidak terlalu risih dengan perbedaan perlakuan. Namun ada beberapa hal yang saat ini saya sadari.
Di kota toleran, tidak ada perbedaan kebijakan untuk perayaan pada kelompok mayoritas. Sedangkan, ada perlakuan khusus bagi kelompok mayoritas di kota intoleran. Ada kebijakan yang diberlakukan bagi lembaga negeri sebagai atribut wajib, padahal itu adalah atribut kelompok mayoritas. Kebijakan tersebut secara langsung ataupun tidak, berdampak pada perlakuan masyarakat secara umum. Bersikap ramah pada mereka yang dianggap sekelompok, tapi membedakan perlakuan pada mereka dari kelompok berseberangan. Tidak heran. fragmentasi ini bisa memicu konfik-konflik intoleran.
Padahal, keberagaman adalah bagian dari kehidupan. Kita mengagungkan kebenaran kita sendiri, orang lain juga mengangungkan kebenarannya, jika kita sama-sama bersikeras dengan kebenaran masing-masing, apakah itu masih tindakan benar untuk dilakukan?
Belajar Toleransi
Seperti yang telah disebutkan diatas, toleransi adalah cara kita hidup sebagai manusia. Memang, Tuhan tidak menciptakan kita seragam, memang ada perbedaan yang harus kita hargai, ada rupa yang tampak berbeda, ada hal-hal tidak terlihat namun dipegang teguh oleh masing-masing kita. Itu yang perlu kita sadari dan hargai.
Di Singkawang misalkan, pemerintahnya memang memiliki regulasi agar masyarakat bisa hidup damai dalam keberagaman, yang tertuang dalam Peraturan Walikota Singkawang No. 129 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Toleransi Masyarakat. Tidak hanya regulasi, namun juga diperlihatkan dalam bentuk keteladanan dan aksi nyata. Tidak ada yang menghalangi kelompok masyarakat dalam melaksanakan ritual keagamaan ataupun kebudayaannya. Disana, ditanamkan bahwa tidak ada kelompok yang mendominasi di sana, sehingga tenggang rasa sudahmenjadi kebutuhan bagi masyarakat Singkawang.
Perbedaan yang ada dijembatani dengan komunikasi yang baik oleh masyarakat Singkawang. Mereka bercengkrama antar etnis ataupun agama sebagai hal yang lumrah dan biasa. Mereka saling bertukar pikiran dan pendapat atas isu yang sedang hangat, menjalin silaturahmi membuat saling memahami sehigga tidak ada sekat yang dapat memunculkan konflik intoleran. Secara berkala, diadakan diskusi publik, silaturahmi lintas agama dan etnis, serta pagelaran budaya multietnis untuk melestarikan kerukunan masyarakat.
Keharmonisan hidup masyarakat Singkawang itu tidak terlepas dari moderasi beragama yang mereka terapkan. Bagaimana mereka memiliki cara pandang, sikap, dan praktik beragama yang mengedepankan perlindungan martabat kemanusiaan dan kemaslahatan bersama, berdasarkan prinsip adil, berimbang, dan taat pada konstitusi sebagai kesepakatan bernegara. Secara sederhana moderasi beragama memiliki empat indikator yaitu toleransi, komitmen kebangsaan, penerimaan terhadap tradisi, dan anti kekerasan.
Mungkin benar jika dikatakan bahwa pengalaman adalah guru berharga, karena sepertinya masyakarat Singkawang belajar banyak dari masa lalu saat terjadi konflik diskriminasi. Pengalaman tidak nyamannya hidup dalam konflik tersebut membuat seluruh pihak di Singkawang belajar untuk bisa hidup dalam akulturasi budaya. Hasilnya Singkawang juga terkenal dengan banyaknya perayaan keagamaan di sana, ornamen lampion saat Imlek, ornamen ketupat saat Idul Fitri, hingga ornamen pohon cemara saat Natal. Ditamah lagi, tahun 2022 lalu diluncurkan Tahun Toleransi oleh pemerintah Singkawang dalam rangka menjaga dan meningkatkan toleransi yang telah terbina dengan baik di sana. Maka wajar jika Singkawang disebut sebagai kota percontohan toleransi dengan berbagai upaya dari seluruh pihak untuk mencapai itu.
Kota-kota lain, meski tidak memiliki heterogenitas seperti Singkawang, dan dipimpin oleh pejabat yang belum terlalu siap dengan perbedaan, bisa belajar dan mulai mengarah pada hal-hal baik tersebut, menuntun agar toleransi bukan lagi dianggap sebagai kewajiban namun mengalir seperti napas di masyarakat.
Baca Juga: Mengajarkan Toleransi pada Anak untuk Hidup Damai Bermasyarakat
Dalam kehidupan kita dengan miliaran manusia lainnya yang sama-sama hidup di bumi, harusnya toleransi menjadi dasar yang mutlak kita miliki. Jelas setiap kita berbeda, meskipun beberapa atibut yang sama membuat kita berada pada satu kelompok tertentu. Tidak ada ketentuan bahwa satu kelompok lebih baik dari kelompok lainnya. Apalagi jika kelompok yang merasa superior itu merasa berhak hingga menyakiti kelompok lain yang dianggap lebih rendah. Jika kesadaran itu kita bawa dalam apapun yang kita lakukan, konflik tidak akan muncul, karena menganggap orang lain pun adalah sama dengan kita, sama-sama bagian dari semesta ciptaan Tuhan.
Selanjutnya, setelah melihat bahwa kita semua adalah entitas yang sama, kita bisa berlatih untuk melihat kenyataan apa adanya, tanpa label penghakiman. Melihat suatu bentuk apa-adanya tanpa embel-embel ini leih baik atau ini lebih buruk.
Terakhir, adalah praktik menerima dan mencintai diri sendiri. Orang yang telah berdamai dengan kondisi dirinya cenderung tidak akan membuat keributan dengan orang lain. Ia akan merasa cukup dengan dirinnya, tanpa perlu mengusik kedamaian orang lain, sehingga konflik pun juga akan terhindar. Ketenangan batin ini yang perlu kita upayakan seiirng dengan belajar toleransi itu. Jadi kita bisa mulai belajar toleransi dari Singkawang dengan pengalaman pahitnya, serta dengan kesadaran bahwa kita semua sama saja, tinggal terima dan cintai diri lengkap dengan fakta apa adanya. Karena sejatinya, setiap kita berbeda sekaligus sama di alam semesta.
Baca Juga: Memang Beda Agama, Tapi Kita Tetap Bersaudara
Salam, Nasha
0 Comentarios
Mau nanya atau sharing, bisa disini!