Setiap kita punya idealisme masing-masing dalam pernikahan, namun jika dibesarkan dalam kondisi yang sama, besar kemungkinan kita akan memiliki kecenderungan yang sama. Lahir saat teknologi berkembang pesat misalkan, Gen Z jadi memiliki pemikiran yang terpola dengan kreativitas dan jauh lebih berkembang dari generasi sebelumnya. Perbedaan ini juga terbawa pada bagaimana mereka memandang pernikahan dan keluarga yang ideal. Sedikit banyak ada hal menarik yang bisa sama-sama kita pelajari tentang komitmen sepasang manusia untuk sepanjang hayat tersebut.
Melalui lembaga BKKBN (Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional) pemerintah merekomendasikan usia ideal menikah bagi warganya yaitu minimal 25 tahun untuk pemuda dan 21 tahun untuk pemudi. Jika kita lihat datanya, tahun 2022 tercatat sebagai tahun dengan angka pernikahan terendah sepanjang dekade terakhir, dengan rentang usia yang masih belum sesuai dengan arahan BKKBN. Pernikahan mayoritas, untuk laki-laki direntang usia 22-24 tahun sedangkan perempuan pada 19-21 tahun. Di Australia, jumlah pernikahan juga mengalami penurunan, tapi usia mempelai mereka jauh lebih matang yaitu berkisar di angka tiga puluh.
Pengaturan batas usia seseorang untuk menikah ini dilakukan bukan tanpa alasan, namun untuk menghindari resiko-resiko yang terjadi seperti kematangan fisik khususnya organ reproduksi. Kesiapan mental untuk bisa hidup bersama, juga kesiapan untuk menjadi orang tua dan melakukan pengasuhan yang bertanggung jawab. Jika kita lihat tahun kelahirannya, pemuda-pemudi usia tersebut adalah anak yang termasuk golongan Gen-Z. Berdasarkan teori generasi yang diungkapkan Codrington & Marshall, Generasi Z lahir pada tahun 1997 - 2012. Keistimewaan mereka adalah pikiran yang lebih terbuka dan daya kreativitas tinggi berkat dunia teknologi yang sudah berkembang pesat sejak mereka lahir.
Berbeda dengan generasi sebelumnya, yakni milenial yang hadir dimasa transisi. Sebagian besar Gen-Y atau milenial (mungkin kita, termasuk saya) merasakan perkembangan peralatan analog dan kini juga menikmati peralatan digital. Kita pernah berada pada masa perlu proses panjang untuk mendapatkan sesuatu dan pernah hidup dalam batas yang jelas, meskipun kini kita juga terbiasa dengan apa yang instan. Sedangkan GenZ sudah terbiasa dengan digitalisasi, mendapatkan apa-apa dengan cepat, dan mendapatkan akses yang tidak terbatas sehingga wajar jika mereka lebih terbuka atas semua kemungkinan dan melatih otak untuk berpikir holistik sekaligus mandiri. Begitu pula pada bagaimana mereka memandang pernikahan dan membangun keluarga.
Pernikahan bagi Gen-Z
Tidak bisa ditampik, arus informasi yang begitu deras dari berbagai sumber memberi pengaruh pada pola pikir kita, apalagi Gen-Z yang memang terlahir dalam kondisi globalisasi. Kesempatan terbuka lebar untuk meraih apa yang diinginkan, untuk mengekplorasi lebih banyak hal, dan mencoba apapun yang tampak menarik perhatian, sehingga pernikahan yang membutuhkan komitmen jangka panjang tidak berada pada prioritas atas. Apalagi menambah tanggung jawab dengan membangun keluarga. Bahkan di negara-negara lain, kondisi ini menjadi perhatian pemerintahnya. Di wilayah Asia Timur misalkan, pemerintah berupaya mendorong pemudanya untuk memiliki keturunan dengan iming-iming fasilitas yang menggiurkan. Sayang, hasilnya masih belum signifikan.
Melansir BBC, tercatat ada banyak faktor yang menyebabkan menurunnya keinginan pernikahan pada Gen-Z ini, antara lain keinginan untuk fokus berkarir, kematangan finansial, hingga pilihan untuk menikmati kehidupan pada pekerjaan, hobi, serta keluarga yang sudah ada saja. Bukan hanya berbagai alasan sengaja menunda, ada alasan lain yang membuat mereka belum menikah, yakni belum menemukan pasangan yang tepat. Pandangan mereka tentang pasangan jadi lebih luas, tidak asal mengejar target menikah, mereka punya prinsip sendiri tentang keluarga yang ingin dibangun, sehingga para gen-z ini menjadi lebih berhati-hati dalam memilih pasangan.
Para peneliti yang membahas hal ini menyebutkan pendekatan pragmatis yang cenderung digunakan oleh gen-z . Mereka melihat nilai manfaat dan hasil akhir dari pernikahan itu sendiri. Jadi mereka tidak lagi menikah karena merasa 'ini saatnya' namun karena menganggap pernikahan adalah hal yang mereka butuhkan dan inginkan.
Berbagai isu yang menjadi pembicaraan khususnya dikalangan gen-z adalah berbagai seruan untuk berupaya sendiri, fokus pada diri sendiri, yang meningkatkan kesadaran bahwa setiap individu bertanggung jawab pada diri mereka masing-masing, pada hidup dan kebahagiannya. Istilah self care menjadi semakin marak belakangan. Menambah daftar pertimbangan dalam memilih pasangan. Sejalan dengan itu, artikel Yale ini menyebutkan bahwa mereka lebih instrospektif mengenai hubungan seperti apa yang ingin mereka jalani. Kesadaran tersebut membuat gen-z ini mengupayakan kestabilan diri sendiri, sebelum memutuskan untuk berbagi dengan orang lain. Apalagi bagi mereka yang tumbuh besar bersama kegagalan pernikahan orang tua, ada ketakutan yang perlu dihadapi terlebih dahulu. Memastikan diri sendiri benar-benar siap sebelum mengajak orang lain ikut serta.
Seiring dengan kesiapan diri, masalah finansial juga menjadi yang banyak dipertimbangkan. Kebutuhan semakin meningkat, gaya hidup menjadi semakin beragam, keinginan bisa dieksplorasi, impian bisa diagntungkan setinggi-tingginya, pilihan menjadi tidak terbatas, kata cukup menjadi sangat jauh. Dulu hanya perlu makan seadanya, sekolah di tempat terdekat dengan rumah, sekarang pilihan makanan datang dari seluruh dunia, ada kesempatan untuk bisa menjelajah ke negeri lain, mencoba berbagai barang, menambah berbagai pengalaman, dan itu jelas butuh biaya. Standar kehidupan mengalmai perubahan. Ditambah untuk tempat tinggal saja perlu persaingan berkat lahan yang diborong menjadi investasi oleh generasi sebelumnya.
Berbeda dengan generasi sebelumnya, hal-hal yang menjadi perhatian dalam mencari pasangan oleh gen-z ini juga berubah. Topik pertimbangan gen-z di Amerika ini misalkan, bukan lagi sebatas keyakian agama atau pandangan politik, namun juga perihal lingkungan serta toleransi pada kehidupan orang dari ras yang berbeda (isu BLM dan Asian People).
Sejauh ini kita bisa melihat beberapa isu yang menjadi perhatian para gen-z (dan juga milenial), rasanya cukup masuk akal melihat dunia yang juga dinamis di sekitar mereka. Apalagi terjadinya pandemi lalu yang banyak mengubah cara kita hidup. Masa yang menjadi jeda dan memberi kita semua kesempatan untuk mengenal diri dengan lebih dekat dan lebih menghargai orang-orang terdekat. Mengutamakan intimacy, memahami skala prioritas dengan lebih baik lagi dengan merefleksi diri sendiri, apa yang diinginkan, mimpi apa yang ingin diraih, dengan siapa dan hubungan yang bagaimana yang bisa sejalan dengan bayangan tersebut.
Keluarga Ideal
Perkembangan pola pikir dalam menghadapi pernikahan oleh gen-z ini, ternyata dianggap oleh para pakar hubungan sebagai hal yang positif. Kesadaran mereka yan tinggi pada kehidupan yang dijalani serta bentuk perhatian gen-z pada kesehatan mental dan batasan pribadi dianggap sebagai pondasi yang kuat dalam pernikahan, bahkan petinggi Tinder menyebut istilah "the most successful marriages yet."
Beberapa hal penting yang bisa menjadi catatan hubungan berpasangan dari cara gen-z ini antara lain:
- Proses Pengenalan yang Terbuka
Mereka melakukan pengenalan dengan orang lain sembari tetap terbuka dan menikmati menjadi diri sendiri. Dengan kesadaran akan self-love, proses pengenalan menjadi pintu utama saling membuka diri tentang topik-topik personal dan apa-apa yang dianggap penting bagi masing-masing individu. Mereka berbagi isu-isu yang dianggap penting dan menarik lalu saling melihat pendapat masing-masing. Kesamaan cara pandang akan menjadi lampu hijau untuk melanjutkan hubungan. Nasihat-nasihat pernikahan seperti 'obrolan yang nyambung' atau 'pernikahan itu isinya saling berbicara' sudah banyak diungkapkan sebagai hal yang penting. Sehingga komunikasi yang terbuka tentang pola pikir masing-masing seperti ini menjadi semakin dibutuhkan. Dengan perkembangan kehidupan, membangun hubungan berpasangan bukan lagi sekedar tentang bibit, bebet, bobot.
- Prioritas pada Hal Personal
Bsisa dikatakan, generasi gen-z merupakan generasi yang paling fokus pada diri sendiri. Kesadaran mereka tinggi tentang hidup bagaimana yang dijalani, begitu juga hubungan yang dijalin. Mereka mendahulukan pengalaman pribadi sebelum membiarkan orang lain masuk dalam kehidupan. Itulah sebabnya, mereka juga memberi perhatian lebih pada isu-isu personal seperti pengembangan diri, kecerdasan emosional, serta kemampuan berkomunikasi terbuka. Masing-masing individu punya kesadaran penuh pada diri sendiri dan siap untuk saling mendukung. Dengan keterbukaan, cara tersebut dinilai dapat menjadikan hubungan dua arah yang lebih jelas, transparan, dan lebih kuat.
- Fulfilled Realtionship
Kesadaran personal tentang hidup, tujuan dalam mencapai hidup yang bermakna (fulfilled) menjadikan gen-z melakukan sesuatu dengan lebih bersungguh-sungguh, termasuk pernikahan. Ini menjadi gambaran jelas tentang bagaimana gen-z menilai kehidupan dan pernikahan. Jadi wajar, jika mereka tidak lagi terpengaruh dengan usia atau kata orang dalam pernikahan. Mereka punya argumen kuat bahwa pernikahan adalah apa yang mereka kerjakan dan tanggung jawab bukan pada orang-orang tersebut. Mereka akan melakukan pernikahan jika dianggap itu bisa menambah makna dalam hidup, atau bisa dikatakan pernikahan yang mereka miliki adalah pernikahan yang 'penuh' bukan 'sekedar.'
- Keingintahuan Tinggi dan Proses Belajar
Rasa penasaran yang tinggi dan cara berpikir kritis yang dipadu dengan tujuan jelas membuat gen-z terus berupaya mewujudkan gambaran yang ada dalam kepala mereka. Keterbukaan mereka pada gaya hidup yang lebih baik membuat pasangan gen-z mampu bekerja sama lebih baik. Mereka menjadi pasangan yang bisa bersama-sama berlatih untuk gaya hidup yang lebih baik, sesuai dengan ap yang menjadi perhatian mereka. Gaya hidup sehat yang semakin marak belakangan misalkan. Mereka berbagi informasi dan mengerjakannya bersama, dan hal ini dapat meningkatkan ikatan pasangan dalam pernikahan. Mengerjakan hal bersama, apalagi hal baik untuk masa depan, memang sejak dulu dianggap sebagai resep ampuh menjaga hubungan.
- Menjunjung Tinggi Kualitas
Generasi ini menyadari ada banyak hal tidak kasat mata namun juga penting dipersoalkan dalam hubungan, seperti niat (mungkin seperti visi), transparansi ingin mencapai apa dalam hubungan, dan juga fulfillment personal yang bisa saling didukung. Topik ini menjadi hal yang biasa dibicarakan bagi gen-z dan ini merupakan hal baik untuk meningkatkan kualitas hubungan. Bandingkan dengan apa yang menjadi concern orang tua kita dahulu. Mereka tidak mengenal berbagai istilah yang marak belakangan, dan memang kompleksitas kehidupan berbeda, akan sangat sulit jika kita tetap menggunakan cara yang sama.
Pendekatan gen-z pada hubungan romansa dan pernikahan ini bisa menjadi pelajaran untuk kita karena memang kita sudah hidup di zaman teknologi dan keterbukaan. Banyak isu yang bisa menjadi tambahan beban pikiran, deras pua informasi yang terus datang menghadang, belum lagi segala kemudahan yang kecepatan yang mengiringi. Kita tidak lagi hidup dalam sekat-sekat terbatas. Jika bukan kita yang belajar membuka diri dan beradaptasi, bagaimana kita bertahan? Belajar dari gen-z kita bisa semakin kuat untuk mengenal diri sendiri, memahami apa yang diinginkan, bagaimana cara menjalani, lalu membicarakannya dengan bijaksana dan terbuka. Lagi-lagi, komunikasi adalah kunci.
Bagaimanapun, pernikahan itu sudah digariskan oleh Tuhan. Kita perlu melihat pernikahan sebagai bagian dari apa yang ditugaskan oleh Tuhan saja, ada sebagian orang yang mendapat ketentuan demikian, ada juga yang tidak, dan keduanya sama baiknya. Bedanya, ada yang melakukan tugasnya dengan cukup baik, ada pula yang masih perlu diperbaiki. Dan kita adalah manusia yang terus berproses dan bisa terus belajar. Mengingat pernikahan adalah ibadah panjang yang ganjarannya juga tidak main-main, sudah sepatutnya kita melihat pernikahan sebagai hal besar yang memang perlu diusahakan dan bisa disesuaikan dengan masing-masing pasangan dan keadaan.
Satu hal lagi tentang keterbukaan gen-z, ada satu isu keterbukaan yang menjadi catatan penting untuk kita semua. Arus informasi dan keterbukaan pikiran tetap harus punya fundamental yang kuat. Pikiran yang lebih terbuka tentang mengenal diri, tahu apa yang dibutuhkan, dan keinginan pasangan tepat adalah batas yang baik, namun mengeksplorasi gender yang sudah jelas ketetapannya, membuka kemungkinan-kemungkinan selain yang ditetapkan tersebut adalah hal keliru. Tidak menutup diri, juga tidak total membuka pada semua hal sehingga asal mengiyakan. Jalani semampunya sesuai dengan batas-batal mutlak yang sudah tercipta sejak dulu kala. Pembahasan ini menjadi catatan juga bagi saya untuk bisa melihat dunia dari kacamata lintas gender, sesuai dengan perkambangan zaman, sehingga bisa lebih menyiapkan diri apa saja yang dibutuhkan untuk bisa bertahan menghadapi.
Salam, Nasha
2 Comentarios
Banyak ilmu yang bisa di ambil dari artikel ini, meskipun ketika menjalani menemukan berbagai hal permasalahan yang terkadang tahu caranya tapi implementasinya sering meleset
BalasHapusSepakat sih. Ketrrbukaan ini penting banget untuk ada di suatu hubungan. Gak jarang pasangan yg menyembunyikan beberapa hal sebelum menikah karena merasa gak pantas untuk membahasnya dan menganggap tabu. Padahal itu demi kenyamanan kedua belah pihak.
BalasHapusMau nanya atau sharing, bisa disini!