Indonesia dikenal sejak lama dengan keanekaragaman hayati yang sangat tinggi, setidaknya ada ribuan jenis flora dan fauna yang tersebar di seluruh Indonesia. Dalam pemeringktan Global Biodiversity Index 2022, Indonesia menduduki peringkat kedua setelah Brazil, dengan ribuan jenis burung, amfibi, ikan, reptil serta belasan ribu jenis tanaman vaskular. Keanekaragaman makhluk hidup ini berfungsi dalam menyeimbangkan ekosistem. Setiap spesies makhluk hidup memiliki peran kuncinya masing-masing, kehilangan salah satu jenis spesies dapat mengamcam keberlangsungan spesies lain bahkan bisa memusnahkan keseluruhan ekosistem tersebut. Apa yang terjadi sekarang adalah penurunan secara signifikan jauh lebih buruk dibanding periode-periode sebelumnya. Banyak yang membuktikan bahwa memang aktivitas manusialah sebagai faktor utama kerusakan alam yang menurunkan angka keragaman tersebut.
Setidaknya ada lima ancaman terbesar bagi keanekearagaman hayati yang diungkapkan dalam Living Planet Report yang dirilis oleh WWF pada 2020, diantaranya adalah perubahan penggunaan lahan dan air, eksploitasi berlebihan, invasi oleh spesies dan penyebaran penyakit, polusi, serta perubahan iklim. Kelima faktor ini terjadi terus menerus dengan tingginya aktivitas manusia dan rendahnya kesadaran dalam menjaga lingkungan, mengakibatkan penurunana populasi satwa liar hingga 68% hanya dalam kurun waktu 46 tahun sejak 1970 hingga 2016.
Aktivitas kita itu juga menghasilkan emisi yang menyebabkan perubahan iklim. Isu paling genting saat ini adalah tentang jejak karbon yang kita tinggalkan dari apa yang kita lakukan. Dampaknya, sangat banyak, pada lingkungan dengan meningkatnya suhu bumi, peningkatan curah hujan, bencana alam; pada kesehatan dengan evolusi penyakit baru, percepatan penularan penyakit, hingga memburuknya sistem pernafasan; juga pada sektor ekonomi yang kita muliakan. Emisi karbon bisa mempengaruhi kegiatan pertanian, perkebunan, juga merusak infrastruktur, dan mengancam keberangsungan populasi. Semua dampak ini akan menambah beban ekonomi dan sosial.
Puluhan bahkan ratusan tahun berprinsip modern, kita terus menerus menggunakan sumber daya yang disediakan, menggunakan yang dirasa perlu, mengubah yang dirasa merepotkan serta membuang yang dirasa tidak digunakan, tanpa berpikir panjang, tanpa pertimbangan lain selain kemudahan. Kita, terbiasa hidup demi kemudahan, kenyamanan, dan kesenangan sesaat diri sendiri.
Keseharian Kita dan Masyarakat Adat
Kerusakan lingkungan memang mayoritas disebabkan oleh aktivitas kita, manusia, didalamnya. Apa yang kita lakukan akan menghasilkan emisi buangan. Namun, bukan berarti kita tidak bisa beraktivitas dan memanfaatkan alam. Bahkan dalam kitab suci juga Tuhan sebagai Pemilik Alam Semesta sudah mengizinkan manusia memanfaatkan alam, dengan catatatan tidak merusaknya. Karena selama ini, bagaimana kita memanfaatkan dan mengelola sumber daya tersebut-lah yang menjadi masalah. Kita tetap bisa menggunakan apa yang ada di alam, hidup mudah dan nyaman, tanpa merusaknya. Untuk hal ini, kita perlu berguru pada masyarakat adat disekitar kita ataupun yang tersebar di seluruh dunia agar bisa #BergerakBersamaBerdaya #UntukmuBumiku
Masyarakat adat bisa diartikan sebagai kelompok manusia yang memiliki sejarah dan asal usul di satu tempat secara turun temurun. Mereka hidup berpegang pada aturan hukum adat di tempat tersebut. Di Indonesia populasi masyarakat adat mencapai sekitar 70 juta jiwa yang tersebar dalam lebih dari seribu suku, dan yang terbesar berada di Kalimantan dengan 772 kelompok adat.
Banyak kasus yang membuktikan bahwa masyarakat mampu hidup dengan baik berdampingan dengan alam seperti yang terjadi di Equador pada tahun 2008. Pemerintah setempat memutuskan untuk memberikan bayaran pada masyarakat untuk merawat hutan dalam program Socio Bosque, dimana dengan bayaran tersebut masyarakat tidak akan berburu, bertani, serta menebang kayu selama dua puluh tahun di wilayah yang telah disepakati. Hasilnya, tingkat deforestasi sejak program itu berjalan sampai 2016 menurun hingga 80%. Manfaat program ini bukan hanya dari angka penurunan penebangan hutan, namun juga dirasakan oleh masyarakat luas dengan meningkatknya kualitas tata kelola wilayah, akuntabilitas, sehingga juuga mningkatkan partisipasi masyarakat dalam komunitas lokal.
Di Brazil, pemerintah bekerja sama dengan masyarakat adat dalam berbagi ilmu tentang pengelolaan pembakaran hutan dalam program Prevfogo. Masyarakat sudah beribu tahun menggunakan api tanpa menyebabkan kebakaran hutan. Tata cara inilah yang kemudian diadopsi agar dapat diaplikasikan lebih luas dalam berbagai aktivitas manusia di hutan. Terbukti, program ini berhasil mengurangi kebakaran hutan di tiga wilayah besar hingga lebih dari setengahnya. Kerja sama seperti ini ditambah dengan pengakuan kepemilikan hutan adat pada masyarakat adat juga terbukti mampu menurunkan tingkat deforestasi hutan di Brazil hingga 66%.
Bukan hanya hutan, di Indonesia Kawasan konservasi Laut yang dikelola oleh masyarakat adat memiliki biomassa yang lebih kaya daripada wilayah yang dikelola oleh pemerintah. Laporan yang diterbitkan Institut Lingkungan Stockholm juga mendorong keterlibatan masyarakat adat dalam konservasi lingkungan, mulai dari berbagi pengetahuan, kerja sama dalam praktik pengelolaan lingkungan, serta membatasi ekstraksi sumber daya alam. Sepertinya kita perlu benar-benar menyadari bahwa masyarakat adat ini bisa menjadi kunci dari kelestarian bumi yang kita tinggali. Menggeser paradigma bahwa mereka bukan hanya sebagai kelompok yang rentan, namun juga kelompok yang bisa menjadi solusi. Kelebihan mereka dengan segala pengetahuan, keahlian, dan pengalaman mengelola alam, yang bisa membantu kita semua untuk menata ulang bagaimana seharusnya kegiatan produksi dan konsumsi dijalankan.
Jika ditarik benang merah bagaimana mereka menjalankan hidup, ada beberapa point penting yang bisa kita ambil pelajarannya, sebagai berikut:
- Rasa memiliki yang kuat terhadap alam
Kita akan menjaga apa yang kita punya. Begitulah prinsipnya kira-kira. Masyarakat adat melakukan aktivitas dari belajar secara turun-temurun dengan memperhatikan tanda-tanda alam dalam melakukan memenuhi kebutuhan hidup mereka seperti beternak, bertani, juga berburu.
- Mampu merasa cukup
Masyarakat adat tidak berlebihan dalam memanfaatkan sumber daya. Mereka tidak sembarangan menggunakan kayu, ada jumlah batas konsumsi agar hutan tidak degradasi. Begitu juga dalam perburuan hewan liar, ada aturan dan pembatasan jumlahnya untuk mencegah kepunahan. Ada pantangan dalam tiap suku seperti Suku Baduy yang melarang panen dua atau tiga kali dalam setahun, Suku Boti melarang tebang pohon kecali mendesak, ataupun Suku Korowai yang tidak merusak dengan memilih tinggal diatas pohon. Mereka tahu batas, tidak berlebihan. Sekarang, coba lihat tempat pembuangan sampah rumah tangga kita, berapa banyak yang terbuang dari apa yang sudah diambil dari alam?
- Keyakinan atas pertanggung jawaban
Berlandaskan dari keyakinan lokal masyarakat adat tersebut, mereka sering melakukan ritual sebagai bentuk syukur atas apa yang sudah diterima. Mereka juga yakin, pada apa yang mungkin menimpa saat mereka melakukan pengrusakan alam. Prinsip inilah yang membuat mereka terus menjalankan hari-hari sesuai dengan apa yang mereka yakini. Bahwa apa yang diterima akan dipertanggung jawabkan. Bukankan ini sama dengan ajaran agama setiap kita?
- Kerja sama ekonomi
Kelompok masyarakat adat mengandalkan satu sama lain untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Semua bekerja sama dan saling memberi manfaat, yang nyatanya juga bisa dinilai secara ekonomi. Sistem ekonomi yang diterapkan adalah sisteminklusif yang mengarah pada pemenuhan kebutuhan kelompok dengan berbasis pada sumber daya alam. Hasil alam tersebut bisa dibagi atas nilai langsung seperti padi, cabai, sayuran ataupun tidak langsung seperti tersedianya air juga tanah yang subur.
- Aturan yang dijalankan bersama
Masyarakat adat tiap wilayah memiliki ketentuan masing-masing sesuai nilai yang mereka yakini. Namun semuanya untuk kebaikan seluruh makhluk diwilayah yang mereka tinggali. Ada yang membagi wilayah hutan sesuai dengan izin manfaatnya seperti masyarakat Lindu di Sulawesi Tengah yang menbagi hutan atas wilayah yang tidak boleh disentuh, boleh tapi terbatas, hingga boleh sesuai kebutuhan. Bukan hanya hutan, ada juga batasan dalam pemanfaatkan wilayah danau untuk menunjang kehidupan masyarakat. Semua memahami esensi ketentuan ini, dan menyadari dampak yang akan timbul jika melanggarnya. Dijalankan secara kolektif sehingga mampu berdampak positif bagi lingkungan.
Apa yang Bisa Kita Lakukan
- Menyediakan sumber daya alternatif ramah lingkungan
- Pilah sampah dari rumah
- Fasilitas umum yang cukup
- Kerja sama dengan Masyarakat Adat
- Administratif 3R yang tepat hingga pelaksanaan
0 Comentarios
Mau nanya atau sharing, bisa disini!