Dengan meledaknya populasi dunia hingga mencapai delapan miliar jiwa, dan diprediksi akan terus meningkat hingga pada 2050 nanti mencapai 9.8 miliar, banyak kondisi yang bisa terjadi. Salah satunya meningkatnya kerentanan anak-anak terhadap berbagai isu seperti kesehatan, pendidikan, hingga sosial ekonomi. Kekhawatiran itu, dijawab dengan solusi singkat perlunya ada kesadaran untuk mengendalikan angka kelahiran. Anak yang baru lahir itu juga punya hak untuk hidup dengan layak. Bukan hanya pemerintah dengan berbagai kebijakan, keluarga disebut sebagai pihak yang turut andil dalam membentuk manusia seperti apa yang akan hadir dimasa depan dalam situasi demografi tinggi dan perubahan iklim ini. Sehingga pada hari keluarga internasional tahun ini, tema yang diusung adalah family and demographic change.
Fokus dalam pengendalian angka kelahiran sudah berdekade lalu dilakukan dengan fertility decline. Bukan tanpa sebab, ruang bumi tidak bertambah luas, sumber daya semakin menipis, kebutuhan kita tidak menurun. Ada banyak aspek yang dianggap bisa diatasi jika kelahiran direncakan dengan matang, misalkan dengan menunda menikah ataupun memiliki anak sehingga usia perempuan hamil semakin lama juga semakin tinggi. Ini bukan semata dirangcang untuk menekan angka kelahiran itu sendiri, namun seiring dengan peningkatan kesadaran bahwa ada banyak hal yang ingin dikejar sebelum ataupun selain berkeluarga dan memiliki anak. Sayangnya, ada beberapa negara yang penduduknya kebablasan menunda hingga jadi menolak kelahiran, akibatnya angka kematian melebihi angka kelahiran seperti Korea Selatan dan Jepang. Pengendalian jelas perlu batasan.
Kurang atau lebihnya angka kelahiran serta bagaimana demografi penduduk distau negara, kita letakkan dulu porsinya pada pembuat kebijakan. Sebagai warga dan sebagai manusia yang bertanggung jawab, penting untuk kita semua, perempuan maupun laki-laki, menyadari bahwa memiliki anak berarti menambah peran baru yang akan sangat menambah tugas nantinya. Kesiapan itulah yang perlu dimatangkan, agar kelahiran bukan lagi sebatas pertambahan angka namun bisa menciptakan penduduk yang mampu beradaptasi dan menjadi solusi dimasa depan.
Dari Keluarga yang Baik
Bukan orang tua, namun kata keluarga dipilih, agar semua anggota keluarga bisa turut andil dalam membtnuk seorang anak. Memang, tanggung jawab utama ada pada orang tua, namun bukan berarti anggota keluarga lain tidak bisa berperan. Saling bekerja sama dalam menciptakan lingkungan yang positif bagi anak untuk bisa berkembang dengan baik. Fertility decline atau penurunan angka kelahiran, diharapkan dapat meningkatkan kualitas hidup seorang anak khususnya yang berkaitan dengan aspek krusial seperti kesehatan, pendidika, lalu ekonomi dan sosial.
Pasangan yang memutuskan untuk memiliki anak, dituntut untuk siap lahir dan batin sebelum memiliki anak. Bukan hanya fisiknya yang kuat, namun mental dan pikirannya juga sudah matang untuk bisa mendidik anak-anaknya kelak. Usia ini bukanlah angka yang pasti, karena tidak ada usia tepat seseorang dikatakan bijaksana untuk menjadi orang tua. Kesiapan fisik seorang wanita rata-rata untuk bisa hamil optimal berada pada rentang usia 20-35 tahun. Diluar itu, kemungkinannya tetap ada namun lebih rendah, atau kalaupun terjadi resikonya menjadi lebih tinggi, baik untuk ibu maupun bayi yang dikandungnya.
Karena memiliki anak bukan sebatas fisik tubuh siap untuk hamil, maka angka tersebut tidak bisa sepenuhnya menjadi patokan. Setelah hamil dan melahirkan, ada proses lebih panjang yaitu menyusui. Tidak bisa disepelekan, karena ini adalah hak anak. Ada yang berargumen bahwa menyusui adalah hak ibu atas tubuhnya, tapi jangan lupa bahwa disitu juga ada hak anak untuk mendapatkan yang pantas dan terbaik. Sepanjang proses dari lahir hingga nanti anak 'dilepas' dalam hidupnya sendiri, adalah proses yang berkali lipat lebih panjangnya, dan anak berhak untuk mendapatkan perlakuan terbaik yang bisa mereka miliki. Orang tua diharapkan menjadi pribadi yang lebih matang dalam menjalani perannya. Bukan hanya raga yang siap untuk mengalami proses reproduksi, namun juga mental yang siap untuk menjalani tambahan fungsi.
Lalu, bagaimana kita bisa menjadi orang tua yang berperan?
- Paham benar bahwa menjadi orang tua adalah tambahan pekerjaan yang akan kita pertanggung jawabkan. Kita bisa punya hari dimana tugas mengasuh anak dialihkan pada orang lain, namun tanggung kawab kelangsungan anak tetap di orang tua. Peran yang sangat panjang dan tidak bisa serta-merta berhenti.
- Banyak belajar tentang diri sendiri, tentang apa yang bisa menjadi trigger emosi, tentang luka ataupun trauma yang pernah dialami, dan berusaha menghadapinya. Tidak perlu pulih dulu, namun sadar bahwa kita punya luka, punya personal issue, sehingga punya kemampuan dalam membatasi diri.
- Terus berlatih memperbaiki diri dengan membenahi kebiasaan-kebiasaan kecil harian, dengan mengerti kalau kita menjadi teladan bagi anak. Meningkatnya kualitas hidup kita sebagai individu, akan emningkatakan kualitas kita saat menjadi orang tua, hingga akan meningkatkan kualitas hidup anak juga nantinya.
- Membangun hubungan yang sehat, bukan hanya dengan pasangan, namun juga dengan orang tua, keluarga, hingga kerabat. Pemenuhan kebutuhan sebagai makhluk sosial seperti apa yang kita lakukan juga akan mempengaruhi anak dalam memperlakukan dan menetapkan batas untuk diperlakukan orang lain. Hubungan yang penuh kasih sayang atau yang penuh caci maki.
- Stabil secara finansial. Tidak bisa dipungkiri, bahwa kita perlu uang untuk bertahan hidup, bukan sekedar makan naun untuk bisa berkontribusi memberi manfaat. Setidaknya selain kebutuhan dasar seperti makan, anak juga perlu akses kesehatan dan pendidikan, tidak harus yang paling mahal, namun ada sesuai dengan kemampuan.
Satu yang paling penting adalah agar kita tidak menyerah. Tidak menyerah pada keadaan, pada masalah atau tantangan yang hadir, tidak menyerah dengan apa adanya mengalir tanpa dipikirkan tanggung jawab kedepannya. Tidak menyerah dalam belajar dan mencoba berbagai macam cara dalam melakukan tugas sebagai orang tua. Ini juga berhubungan dengan pernyataan bahwa kita tidak bisa menyamakan bagaimana orang dulu memperlakukan anak dengan bagaimana kita mengasuh anak kini. Memang sama-sama anak, namun kondisinya banyak berubah, kita sendiri juga mengalami perkembangan pola pikir dengan pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan, justru sepatutnya kita melakukan hal yang berbeda, menjadi yang lebih baik.
Salam, Nasha.
0 Comentarios
Mau nanya atau sharing, bisa disini!