Perubahan iklim bukanlah topik baru yang menjadi perhatian seluruh dunia. Isu ini pertama kali diungkap oleh ilmuan Amerika sekitar tahun 1985, dari penemuannya terhadap adanya lubang pada lapisan ozon di langit Amerika. Meskipun jauh sebelum itu, ilmuwan sudah banyak berbicara mengenai perubahan iklim. Namun sejak saat itu, mulai ada perhatian sedikit lebih banyak pada perubahan iklim. Beberapa negara lain pun mulai menganggap isu ini sebagai hal yang penting.
Photo by Nacho Juárez in Pexels Edited by Canva
Di Indonesia iri, pembicaraan mengenai perubahan iklim baru dimulai pada awal abad kedua puluh. Ancaman banjir, tanah longsor, kekeringan, dan yang paling nyata adalah suhu yang meningkat dengan kualitas udara yang menurun, semakin menghantui. Semua pertanda nyata itu tidak banyak mengubah kebiasaan masyarakat kita, hanya semakin banyak mengeluh tanpa benar-benar mengubah kebiasaan buruk, membuang sampah sembarangan misalkan. Belum lagi, penggunaan barang sekali pakai yang jelas-jelas menambah tinggi tumpukan sampah di tempat pembuangan.
Entah karena apa, sikap apatis terhadap lingkungan ini masih terus berlanjut. Padahal sudah terbukti apa yang kita lakukan berperan cukup besar dalam perubahan iklim. Boleh saja jika kita menuntut pemerintah agar lebih bertanggung jawab pada pembangunan yang menerapkan sustainability atau prinsip ESG (Environment Sosial Governance). Kewajiban kita malah, agar terus meminta para pejabat itu untuk membuat kebijakan yang lebih berpihak pada lingkungan, bukan ekonomi semata karena mereka memegang peran penting dengan gerakan yang lebih masif. Namun hanya menuntut tanpa memperbaiki pola hidup sendiri juga tidaklah tepat.
Berdasarkan rangkuman Tim PBB, perubahan iklim banyak terjadi akibat penggunaan energi. Energi yang dipakai untuk menghasilkan listrik dan panas, mayoritas berasal dari pembakaran bahan bakar fosil. Kegiatan industri dan manufaktur juga menggunakan bahan bakar fosil, paska produksi juga menghasilkan emisi bahan yang sama tidak baiknya untuk lingkungan. Muara kegiatan ini sebagian besar adalah untuk konsumsi masyarakat. Lalu, siapa masyarakat yang bertanggung jawab atas angka demand tersebut? Kita, setiap kita semua tanpa terkecuali.
Aktivitas Hidup
Pict of Pexels
Bernafas saja kita akan menghasilkan karbon dioksida, senyawa kimia berbahaya yang bisa merusak lapisan ozon. Syukurlah, ada tumbuhan yang bisa mengubah zat tersebut menjadi oksigen untuk kita dan semua makhuk hidup bumi hirup kembali. Dengan perkembangan ilmu pengetahuan, kesadaran tentang pentingnya proses fotosintesis harusnya juga semakin meningkat. Sayangnya, ada sekitar lima belas miliar pohon yang ditebang dan hanya lima miliar pohon yang ditanam setiap tahun, berdasarkan laman tentree. Fakta menyedihkan ini didukung dengan kenyataan dari katadata, bahwa tingkat konsentrasi karbon dioksida pada lapisan ozon bumi mengalami peningkatan sebesar 11.95% hanya dalam dua dekade terakhir. Ini bukan hanya membuat lapisan ozon, yang melindungi kita dari sinar matahari, semakin tipis, namun juga meningkatkan permukaan air laut. Akibatnya berbagai bencana yang kita rasakan sekarang, banjir, gelombang panas, kekeringan, dsb.Untuk tetap bertahan hidup, kita perlu memenuhi kebutuhan dasar sandang (pakaian), pangan (makanan), papan (tempat tinggal). Aktivitas yang jika tidak dilakukan dengan tanggung jawab dan prinsip keberlanjutan, hanya akan semakin mengurangi sumber daya yang tersedia di bumi. Sebagai masyarakat awam, mungkin sulit bagi kita benar-benar memastikan makanan yang kita dapat diproduksi dengan prinsip keberlanjutan dari hulu ke hilirnya, tapi bukan berarti kita tidak bisa melakukan apa-apa.
Perlu diketahui bahwa permintaan akan barang yang kita konsumsi tersebut, membutuhkan energi untuk memproduksinya. Salah satu penyebab terbesar dari perubahan iklim ini adalah semakin banyaknya energi yang dibutuhkan untuk memenuhi permintaan manusia. Hingga saat ini, apalagi di negara kita, sumber energi terbesar masih berupa sumber yang tidak ramah lingkungan yaitu bahan bakar fosil. Energi listrik harian untuk menunjang kehidupan kita di rumah, hampir 87% sumbernya adalah bahan bakar fosil. Belum lagi, energi yang dibutuhkan untk industri dan manufaktur. Dengan penggunaan bahan bakar fosil seperti minyak bumi ataupun batu bara, polutan yang dihasilkan juga semakin besar. Bahaya utamanya adalah banyaknya jenis polutan yang dihasilkan. Dalam satu tahun terakhir tercatat setidaknya ada lebih dari enam juta kematian, melansir dari laman dw, akibat penggunaan bahan bakar fosil yang mencemari udara, air, tanah, hingga laut. Sampai sini, pengalihan energi yang kita gunakan menjadi listrik jelas bukan solusi jika listrik masih bersumber dari bahan bakar fosil.
Memang mungkin saja ada pihak yang sengaja menunggangi isu ini untuk kepentingan pribadi, menciptakan industri dengan sangat giat demi kepentingan kelompok tertentu, sehingga dengan semua fakta kerusakan lingkungan ini masih terlihat keengganan untuk memprioritaskan pengalihan energi menjadi lebih ramah lingkungan. Namun karena sampai sekarang belum ada bukti yang bisa membenarkannya, kita hanya bisa terus menuntut sambil mengontrol apa yang bisa kita lakukan, mengendalikan diri kita sendiri. Karena kita sedikit banyak akan mempengaruhi angka produksi, disesuaikan dalam data demand and supply.
Dari pemenuhan kebutuhan paling dasar inilah, kita bisa menerapkan prinsip minimalis, untuk mengurangi pemakaian energi yang bisa mengendalikan perubahan iklim.
Memperbaiki Prinsip Hidup
Kata minimalis mulai dikenal pada tahun 1960-an dikalangan seniman untuk menggambarkan kesederhanaan. Seiring berjalannya waktu, penggunaan kata minimalis meluas hingga bisa digunakan sebagai gaya hidup, yang maknanya sederhana, secukupnya, dengan penggunaan barang yang multifungsi dalam kadar yang terbatas. Sebagai gaya hidup, minimalis bisa menjadi jawaban untuk kita sebagai masyarakat modern yang sangat mudah terpapar berbagai strategi pemasaran, mendorong kita untuk menjadi konsumtif bahkan impulsif.
Gaya hidup minimalis bisa kita terapkan dari kebutuhan yang paling dasar, makanan. Indonesia tercatat sebagai negara kedua terbesar di dunia sebagai penyumbang limbah makanan, tercatat sebanyak tiga belas juta ton limbah makanan setiap tahunnya. Angka ini setidaknya bisa memenuhi kebutuhan makanan 30% dari penduduk Indonesia sendiri. Miris, mengingat ada lebih dari 20% balita di Indonesia mengalami stunting. Pembuangan yang sangat sia-sia ini, harusnya tidak perlu terjadi. Jika kita bisa mengontrol diri untuk cermat merencanakan, mengambil sesuai kebutuhan, memanfaatkan apa yang ada, tidak serakah saat harga murah, dan tidak perlu berlebihan dalam menyajikan. Limbah makanan ini menghasilkan karbon dioksida dan gas metana yang memperburuk efek rumah kaca. Bukan hanya pada udara, limbah makanan juga meningkatkan resiko kelangkaan air serta erosi tanah.
Pada ketegori kebutuhan sandang atau pakaian, belakangan kita mengenal istilah fast fashion, mengacu pada tren cepatnya produksi pakaian yang mengikuti perubahan mode. Dalam prosesnya, produksi pakaian fast fashion ini dilakukan secara massal dengan harga yang relatif rendah. Harga rendah ini sebanding dengan kualitas rendah, yang penting perputaran barangnya cepat. Dengan maraknya fast fashion, wajar jika angka limbah pakaian semakin meningkat dari waktu ke waktu. Rangkuman ITS dari berbagai catatan ahli mengungkapkan bahwa industri tekstil menjadi sumber polusi kedua terbesar di dunia dengan lebih daru satu miliar ton emisi gas rumah kaca. Di Indonesia saja, limbah tekstil mencapai satu juta ton. Semua ini tidak lepas dari gaya hidup konsumtif kita yang terus merasa harus mengikuti mode.
Untuk mengatasi hal ini, kita sebagai konsumen tidak bisa terus menerus melanggengkan praktik fast fashion. Membeli barang asal murah, cepat sesuai tren, dipakai beberapa kali lalu berakhir menjadi sampah hanya dalam waktu yang singkat. Produsen juga tidak akan terus memproduksi jika tidak ada pembeli. Dorong produsen untuk giat menciptakan industri yang ramah lingkungan, bisa dengan pilih produk dari bahan eco friendly. Jadi, hal pertama yang perlu kita ingat adalah fungsi pakaian itu sendiri. Kebutuhan dasar untuk menutupi tubuh serta untuk menunjang nilai-nilai yang kita yakini. Menyenangkan memang, bisa mengikuti tren, berganti-ganti model, tiap kesempatan bisa berbeda pakainnya, tapi melihat tumpukan sampah dan bagaimana itu akan menurunkan kualitas hidup kita serta anak-anak nantinya, apakah kesenangan sesaat itu sepadan? Mulailah dengan memahami kebutuhan pakaian sendiri, beli produk sesuai kebutuhan yang berkualitas baik dan bisa tahan lama, selektif memilih produsen yang punya concern terhadap lingkungan sehingga proses produksinya tidak merusak, lalu rawat apa yang ada, perpanjang usia barang saat tidak lagi digunakan.
Terakhir, kita juga punya kebutuhan berupa tempat tinggal. Sederhana dari yang tampak, kebanyakan kita mengubah lahan hijau, lalu menyatupadukan berbagai bebatuan dari pegunungan, hingga menjadi bangunan megah yang disesuaikan dengan selera kita masing-masing. Tidak apa, karena memang kita butuhkan. Namun, kita bisa tetap bisa mengurangi dampak kerusakan lingkungan yang diakibatkan dengan menerapkan prinsip hidup minimalis. Bukan berarti konsep bangunannya yang disesuaikan dengan rancangan tren minimalis, tapi pada prinsip rumah itu sendiri.
Awali dengan perencanaan yang cermat tentang kebutuhan rumah tersebut. Berapa orang yang akan hidup didalamnya. Aktivitas apa saja yang akan dilakukan di rumah. Lanjutkan dengan perabotan apa yang diperlukan, produk apa yang bisa memenuhi fungsi yang diinginkan tersebut, sehingga kita akan memilih barang memang berdasarkan fungsi bukan estetika semata. Jika gaya hidup ini terus dipraktikkan didalam rumah, kita akan punya rumah dengan luas yang sesuai kebutuhan, perabotan yang multifungsi, dengan jumlah juga sesuai dengan yang kita butuhkan. Hal lain yang tidak kalah penting dari rumah adalah luangkan lahan terbuka hijau untuk menanam berbagai jenis tumbuhan, yang bisa menghasilkan udara jernih untuk kita hidup dan sebagai penopang kehidupan flora fauna lainnya.
Prinsip minmalis untuk hidup sederhana dalam batas cukup ini, bukan hanya bisa kita praktikkan dalam pemenuhan kebutuhan pangan, sandang, papan seperti yang diterangkan diatas, kita juga bisa mempraktikkan hal-hal sepele berikut dalam kehidupan sehari-hari:
- Menormalkan pemakaian barang bekas untuk memperpanjang usia barang agar tidak cepat menjadi sampah
- Membuat daftar kado dan berlapang hati jika ditanya, agar tidak ada pemberian yang sia-sia
- Menyajikan makanan sesuai kebutuhan
- Mengutamakan fungsi dan tidak selalu mengejar tren
- Tahu prioritas bahwa prinsip kebaikan lingkungan lebih utama dari sekedar pandangan orang sehingga tidak perlu mendefinisikan orang dari barang
- Aktif dalam berbagai gerakan peduli lingkungan, salah satunya dengan Donasi di Greenaration yang gerakannya fokus pada isu konsumsi dan produksi berkelanjutan.
Jika dipadatkan, gaya hidup minimalis adalah tentang kecukupan apa yang ada dan dibutuhkan. Mampu bukan berarti perlu. Pada apapun yang kita lakukan dan akan konsumsi, selalu ingat untuk merencanakan dengan cermat, pilih produk berkualitas baik sehingga bisa tahan lama, seleksi produsen yang peduli lingkungan, dan tanggung jawab jika tidak bisa lagi memanfaatkan barang (bisa dengan dijual kembali, didonasikan, atau dibuang dengan bijak). Pada akhirnya, jika kita memprioritaskan prinsip minimalis secara bersama-sama, penggunaan energi juga bisa ditekan sehingga perubahan iklim juga bisa dikendalikan.
Salam, Nasha
0 Comentarios
Mau nanya atau sharing, bisa disini!