Dalam masyarakat, ada banyak standar kesuksesan yang kita pasang dalam perjalanan hidup ini. Ada yang berlari untuk mewujudkannya sendiri, ada juga yang menggantungkannya di pundak anak bernama harapan jadi 'orang'. Apakah jika harapan itu tidak terwujud, anak itu bukanlah 'orang'?
Meskipun sinonim kata orang adalah manusia, sayangnya definisi jadi 'orang' tidak mengacu pada perihal tentang manusia itu, ke-manusiaan-an, ataupun manusiawi. Kata 'jadi orang' yang sering dilontarkan mengarah pada hal materiel yang terlihat dan dapat diukur. Iya, begitulah cara kompleks manusia mempertahankan diri. Jika dibandingkan dengan makhluk hidup lain, kita semua memang memiliki insting ini. Menjadikan ini sebagai landasan kita bekerja mengumpulkan uang, untuk memenuhi kebutuhan agar bisa tetap hidup, sampai batas itu maka memang sesuai dengan naluriah manusia. Makhluk hidup lain juga berburu dan mempertahankan diri. Lalu ada adu kekuatan, perebutan kekuasaan, claim kepemilikan, mirip seperti yang terjadi di hutan rimba. Bedanya, selain kemampuan diatas kita juga diberi banyak kelebihan lain. Ada akal pikiran, ada hati nurani. Sifat-sifat Tuhan juga ditiupkan agar manusia mampu menjadi pemimpin di muka bumi.
Maka, hanya mengutamakan pertahanan diri dengan upaya mengumpulkan uang, dan mengglorifikasi pencapaiannya sebagai kesuksesan, merupakan hal yang keliru. Kita hanya butuh uang untuk hidup, tidak hidup untuk uang.
Perjalanan Kita
Sebenarnya, dengan anugerah yang diberikan pada manusia, kita diciptakan untuk selalu mendekat pada kebenaran dan kebaikan. Hebatnya, akal pikiran kita masing-masing memiliki definisi mana yang benar dan baik itu. Tapi, akan terus ada hati nurani yang tahu. inilah yang kemudian menuntun kita pada kebahagiaan.
Sederhananya seperti itu. Nyatanya, hidup manusia jauh dari kata sederhana.
Selain mempertahankan diri, kita juga didesak dengan keinginan berkuasa, adu kekuatan, serta arahan hati nurani untuk mencapai kebahagiaan, semua berebut tempat mana yang paling besar kita beri porsinya. Inilah buah kebijaksanaan, hal yang hanya dimiliki manusia, jika mampu memberi porsi yang tepat pada masing-masing aspek. Jika hanya terbiasa mengisi aspek, kita akan tumbuh mengisi kebutuhan aspek itu yang semakin besar pula porsinya. Sudah lebih dari cukup untuk hidup, ingin lebih, ditumpuk terus, tidak segan merusak, tumpuk lagi, tambah kuasa lagi, begitu seterusnya semakin jauh dari kenyang. Demikian kita membangun hidup masing-masing.
Perjalanan kita sejak lahir jelas tidaklah sama. Kita yang terlahir dengan suatu garis pembeda digabung dengan kita yang dibentuk oleh sekitar, bisa kegembiaraan juga kepedihan, menyatu dalam memori kenangan. Semua itulah yang menggiring kita pada apa yang kita putuskan, apa yang kita ucapkan, juga apa yang kita lakukan. Kecenderungan dan kebiasaan kita.
Ada yang lahir dan dibesarkan dengan nyaman, ada yang dari lahir saja sudah kepayahan. Ada yang di usia belia sudah tidak perlu mempertahankan insting melindungi diri, karena sudah serba cukup apapun yang diinginkan, ada yang hingga tua tetap berjuang menyambung hidup hari demi hari.
Di zaman sekarang, banyak yang semakin kaya dengan memanfaatkan digitalisasi misalkan, ada juga yang masih berkutat mencari apa yang menjadi bakat diri. Ada yang tidak peduli dengan unsur lain, asal bisa terus memberi porsi pertahanan diri dan kekuasaan, ada juga yang mesti terseok karena punya pembagian porsi. Dalam perjalanan yang mungkin terlihat di garis awal yang sama, pilihan dan lingkungan juga mempengaruhi. Mungkin saja masih muda, sudah kaya bergelimang harta, kerjanya beberapa jam aja, naik daun karena ada kejadian istimewa, ambil kesempatan, lalu jadilah kata orang kesuksesan. Tapi ada juga yang lebih tua, masih mengumpulkkan biaya, kerjanya dari pagi hingga senja, rumah mobil belum ada yang punya, katanya masih belum sukses.
Tepat tidak sih kalau seperti itu?
Sukses itu definisi bahasanya berhasil. Lalu kenapa kedua tokoh tadi berbeda hasilnya? Aspek mana yang membuat satu sukses satu tidak? Apakah hasilnya harus selalu memiliki kecukupan untuk mempertahankan diri sedangkan ada banyak aspek lain yang dilimpahkan pada kita sebagai manusia?
Apa Sukses Untukmu
Maksudnya kita semua bukan hanya berasal dari start point yang berbeda, tapi juga punya jalan yang berbeda, punya goal juga yang berbeda, jadi jangan sampai menyamaratakan dan membuat definisi umum tentang keberhasilan. Kita punya alur, jalan hidup sendiri-sendiri, kecepatan sendiri-sendiri, dan tujuan yang gak sama.
Tidak perlu terlalu fokus ke angka, hidup kita lebih daripada itu saja. Tidak bisa juga memaksakan hanya satu aspek yang ditekuni, padahal banyaknya aspeklah yang mengistimewakan kita sebagai manusia.
Bisa jadi ada yang tidak/ sedikit menghasilkan uang, tapi tetap bisa memberi nilai menebar manfaat, tetap memegang nilai keyakinan. Mungkin tidak terlihat sukses, tapi sudah bisa hidup tidak menyusahkan, malah menyenangkan bagi banyak orang. Atau memang hari ini berhasil melakukan yang diinginkan, besok tidak terwujud, hari ini sukses menahan diri, kemarin sudah kelepasan.
Bahkan melakukan kebiasaan lebih baik dari hari ke hari juga sudah keberhasilan. Melawan kantuk untuk bangun lebih pagi melakukan hal baik juga sudah berhasil. Tidak mengeluh dengan apa yang disajikan dan memilih bersyukur juga keberhasilan. Memilih untuk diam padahal bisa saja berbicara tapi tahu bahwa lebih banyak mudharat-nya, juga berhasil. Banyak keberhasilan yang sebenarnya bisa kita lakukan dan mungkin sudah kita lakukan tapi kurang kita perhatikan. Selama mengarah pada esensi menuju kebenaran dan kebaikan, rasanya bisa kita anggap keberhasilan.
Akhirnya semua kembali pada kesadaran titik mula kita, kemampuan, dan batas cukupnya. Hingga berujung yang terpenting pada apa yang kita lakukan pada waktu yang diberikan dan bagaimana kita mempertanggung jawabkannya. Untuk kembali ke hakikat kita manusia, tanpa berlomba-lomba tentang siapa yang paling banyak mencapai apa.
#HidupCukup
Salam, Nasha.
0 Comentarios
Mau nanya atau sharing, bisa disini!