Waw! Masa iya?! KDrama lebih bagus daripada seri netflix?!
Memang series ini mengingatkan saya tentang drama di netflix yg cukup heboh, Marriage Story. Meskipun lebih dulu release, tapi saya justru menonton Go Back Couple belakangan. Kedua cerita ini diawali dengan adegan perceraian sepasang suami istri yang telah dikaruniai seorang anak. Namun, kenapa saya bisa mengklaim Go Back Couple lebih baik?
Go Back Couple memang tipikal drama korea, dengan beberapa adegan yang ‘terlalu kebetulan’. Tapi, saya masih menikmati, karena dikemas dengan manis. Dan cukup membuat penonton senyum-senyum sendiri. Sedangkan, Marriage Story disajikan dengan cerita dan adegan keseharian yang nyata dan didukung pemain dengan kemampuan acting luar biasa.
Namun, perjalanan menonton Go Back Couple membuat saya memetik banyak sekali pelajaran, ntah tentang kehidupan secara luas ataupun tentang pernikahan secara khusus. Kesan yang ditinggalkan setelah menonton Go Back Couple ini jauh lebih membekas bagi saya, dan membuat saya berpikir lebih dalam dari sisi lain mengenai apa yang saya lihat di kehidupan nyata.
Pasangan Ma Jin Joo dan Choi Ban Do bertemu pertama kali pada kencan buta saat mereka sama-sama menjadi mahasiswa baru. Mereka saling tertarik dan sangat jatuh cinta pada awalnya hingga memutuskan untuk menikah. Cara mereka memperlakukan satu sama lain benar-benar menunjukkan rasa cinta mereka, yang khas anak muda apa adanya. Bahkan saya ingat adegan saat Ban Do yang masih mahasiswa ditanyai oleh ayah Jin Joo tentang apa yang ia sukai. Ia dengan polos menjawab Jin Joo. Pertanyaan tentang cita-cita pun ia dengan semangat menjawab, membahagiakan Jin Joo. Kedengaran sedikit tidak masuk akal ya? Tapi menonton adegan orang yang sedang mabuk cinta begitu, saya bisa melihat ketulusan cinta seorang mahasiswa yang benar-benar menyukai gadis impiannya.
Tapi apakah cinta yang demikian memabukkan itu cukup untuk mempertahankan pernikahan? Ternyata tidak. Karena toh, pasangan ini akhirnya justru memutuskan untuk bercerai.
Setelah sidang perceraian terakhir mereka, karena saling merasa tidak bahagia dan berharap untuk tidak mengulang waktu agar tak perlu bertemu, masing-masing membuang cincin pernikahan. Dari sinilah semua berawal. Keinginan mereka terwujud. Mereka kembali menjadi mahasiswa baru yang belum mengenal satu sama lain. Layaknya orang yang berpisah karena merasa tidak bahagia, mereka tentu saja pada awalnya menghindar satu sama lain. Bahkan saling membenci.
Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa keduanya masih tetap saling peduli. Memang, perasaan tidak semudah itu untuk dihilangkan. Kebiasaan tidak semudah itu untuk tergantikan. Dari perjalanan mengulang waktu tersebut, mereka akhirnya sama-sama belajar. Kita pun sebagai penonton memahami, memang yang paling utama dari segala hubungan adalah komunikasi.
Masalah dimunculkan bukan hanya dari Ban Do dan Jin Joo sebagai mantan suami istri, namun juga hubungan orang tua-anak, hubungan persahabatan, dan diri mereka sendiri. Betapa banyak yang akhirnya terlewatkan hanya karena kesalahpahaman. Betapa sering kita menyimpulkan tanpa tau kejadian keseluruhan. Betapa mudah kita memutuskan tanpa benar-benar mempertimbangkan.
Konflik semakin diperdalam saat Jin Joo harus kehilangan ibunya. Ia sangat sedih dan kecewa tidak bisa bertemu sang ibu untuk terakhir kalinya karena Ban Doo harus berurusan dengan polisi. Ia begitu larut dalam kesedihannya sendiri. Lupa bahwa Ban Doo juga berduka. Ban Doo pun serba salah menempatkan diri, mencoba berpura-pura ceria menghibur sang istri, yang kemudian disimpulkan dengan ketidakpekaan. Di lain sisi, Jin Joo mulai jarang mengunjungi rumah orang tua nya, takut menghadapi bahwa di sana tak lagi ada ibu yang menyapa, namun ia lupa ada ayah seorang diri yang juga ditinggal pergi.
Tentang kesedihan dari kehilangan yang tidak pernah mudah bagi siapa saja. Saya belajar bahwa berkomunikasi dan saling menguatkan yang seharusnya kita lakukan. Dalam hatinya, Jin Joo ingin ditemani saat menangis agar tidak merasa bersedih sendiri, di sisi lain Ban Doo tidak tega melihat air mata dan berpikir bahwa Jin Joo butuh dihibur agar bisa melupakan kesedihannya. Kita tidak bisa hanya fokus pada luka kita sendiri sehingga lupa bahwa orang lain juga terluka. Kita tidak pernah tau bagaimana cara terbaik menghadapi kesedihan orang lain, selain dengan bertanya memastikan. Kita tidak bisa membuat rasa bahagia bertahan selamanya, tanpa menghadapi rasa lain seperti kesedihan,
Selain itu, secara garis besar saya belajar banyak agar kita sebagai manusia lebih banyak mendengar daripada langsung menyimpulkan. Lebih banyak memperhatikan daripada langsung menghakimi. Karena jika kita mau sedikit saja untuk melihat lebih jauh, lebih luas, dan lebih detail akan sangat banyak yang bisa kita dapatkan. Pahamilah bahwa setiap manusia memiliki cara menerima dan cara mengungkapkan rasa yang berbeda-beda.
Pernikahan kemudian sedikit lebih saya pahami, bukanlah hal yang mudah. Bukan hanya tentang rasa. Lebih dari itu, pernikahan adalah tentang berjuang bersama. Bukankah sangat banyak yang akhirnya berpisah meski masih saling cinta? Perjuangan pernikahan juga bukan hanya tentang meredam ego masing-masing seperti hubungan biasa, namun memprioritaskan bahagia bersama saat beragam tekanan dan tuntutan hidup datang menerpa. Bagaimana jika keinginan menggebu harus ditekan karena isi dompet tidak memungkinkan? Bagaimana menutup telinga jika selalu saja ada pihak yang datang berkomentar?
Pada akhirnya, saya pikir kita harus rehat sejenak untuk sama-sama merefleksikan bahwa menjadi sesungguhnya manusia ditengah segala kerumitan hidup tidaklah mudah. Berbagi kehidupan dengan jembatan komunikasi membuatnya semakin menantang. Tetapi, siapa yang sanggup bilang bahwa bahagianya tidak sepadan?!
Memang series ini mengingatkan saya tentang drama di netflix yg cukup heboh, Marriage Story. Meskipun lebih dulu release, tapi saya justru menonton Go Back Couple belakangan. Kedua cerita ini diawali dengan adegan perceraian sepasang suami istri yang telah dikaruniai seorang anak. Namun, kenapa saya bisa mengklaim Go Back Couple lebih baik?
Go Back Couple memang tipikal drama korea, dengan beberapa adegan yang ‘terlalu kebetulan’. Tapi, saya masih menikmati, karena dikemas dengan manis. Dan cukup membuat penonton senyum-senyum sendiri. Sedangkan, Marriage Story disajikan dengan cerita dan adegan keseharian yang nyata dan didukung pemain dengan kemampuan acting luar biasa.
Namun, perjalanan menonton Go Back Couple membuat saya memetik banyak sekali pelajaran, ntah tentang kehidupan secara luas ataupun tentang pernikahan secara khusus. Kesan yang ditinggalkan setelah menonton Go Back Couple ini jauh lebih membekas bagi saya, dan membuat saya berpikir lebih dalam dari sisi lain mengenai apa yang saya lihat di kehidupan nyata.
Pasangan Ma Jin Joo dan Choi Ban Do bertemu pertama kali pada kencan buta saat mereka sama-sama menjadi mahasiswa baru. Mereka saling tertarik dan sangat jatuh cinta pada awalnya hingga memutuskan untuk menikah. Cara mereka memperlakukan satu sama lain benar-benar menunjukkan rasa cinta mereka, yang khas anak muda apa adanya. Bahkan saya ingat adegan saat Ban Do yang masih mahasiswa ditanyai oleh ayah Jin Joo tentang apa yang ia sukai. Ia dengan polos menjawab Jin Joo. Pertanyaan tentang cita-cita pun ia dengan semangat menjawab, membahagiakan Jin Joo. Kedengaran sedikit tidak masuk akal ya? Tapi menonton adegan orang yang sedang mabuk cinta begitu, saya bisa melihat ketulusan cinta seorang mahasiswa yang benar-benar menyukai gadis impiannya.
Tapi apakah cinta yang demikian memabukkan itu cukup untuk mempertahankan pernikahan? Ternyata tidak. Karena toh, pasangan ini akhirnya justru memutuskan untuk bercerai.
Setelah sidang perceraian terakhir mereka, karena saling merasa tidak bahagia dan berharap untuk tidak mengulang waktu agar tak perlu bertemu, masing-masing membuang cincin pernikahan. Dari sinilah semua berawal. Keinginan mereka terwujud. Mereka kembali menjadi mahasiswa baru yang belum mengenal satu sama lain. Layaknya orang yang berpisah karena merasa tidak bahagia, mereka tentu saja pada awalnya menghindar satu sama lain. Bahkan saling membenci.
Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa keduanya masih tetap saling peduli. Memang, perasaan tidak semudah itu untuk dihilangkan. Kebiasaan tidak semudah itu untuk tergantikan. Dari perjalanan mengulang waktu tersebut, mereka akhirnya sama-sama belajar. Kita pun sebagai penonton memahami, memang yang paling utama dari segala hubungan adalah komunikasi.
Masalah dimunculkan bukan hanya dari Ban Do dan Jin Joo sebagai mantan suami istri, namun juga hubungan orang tua-anak, hubungan persahabatan, dan diri mereka sendiri. Betapa banyak yang akhirnya terlewatkan hanya karena kesalahpahaman. Betapa sering kita menyimpulkan tanpa tau kejadian keseluruhan. Betapa mudah kita memutuskan tanpa benar-benar mempertimbangkan.
Konflik semakin diperdalam saat Jin Joo harus kehilangan ibunya. Ia sangat sedih dan kecewa tidak bisa bertemu sang ibu untuk terakhir kalinya karena Ban Doo harus berurusan dengan polisi. Ia begitu larut dalam kesedihannya sendiri. Lupa bahwa Ban Doo juga berduka. Ban Doo pun serba salah menempatkan diri, mencoba berpura-pura ceria menghibur sang istri, yang kemudian disimpulkan dengan ketidakpekaan. Di lain sisi, Jin Joo mulai jarang mengunjungi rumah orang tua nya, takut menghadapi bahwa di sana tak lagi ada ibu yang menyapa, namun ia lupa ada ayah seorang diri yang juga ditinggal pergi.
Tentang kesedihan dari kehilangan yang tidak pernah mudah bagi siapa saja. Saya belajar bahwa berkomunikasi dan saling menguatkan yang seharusnya kita lakukan. Dalam hatinya, Jin Joo ingin ditemani saat menangis agar tidak merasa bersedih sendiri, di sisi lain Ban Doo tidak tega melihat air mata dan berpikir bahwa Jin Joo butuh dihibur agar bisa melupakan kesedihannya. Kita tidak bisa hanya fokus pada luka kita sendiri sehingga lupa bahwa orang lain juga terluka. Kita tidak pernah tau bagaimana cara terbaik menghadapi kesedihan orang lain, selain dengan bertanya memastikan. Kita tidak bisa membuat rasa bahagia bertahan selamanya, tanpa menghadapi rasa lain seperti kesedihan,
Selain itu, secara garis besar saya belajar banyak agar kita sebagai manusia lebih banyak mendengar daripada langsung menyimpulkan. Lebih banyak memperhatikan daripada langsung menghakimi. Karena jika kita mau sedikit saja untuk melihat lebih jauh, lebih luas, dan lebih detail akan sangat banyak yang bisa kita dapatkan. Pahamilah bahwa setiap manusia memiliki cara menerima dan cara mengungkapkan rasa yang berbeda-beda.
Pernikahan kemudian sedikit lebih saya pahami, bukanlah hal yang mudah. Bukan hanya tentang rasa. Lebih dari itu, pernikahan adalah tentang berjuang bersama. Bukankah sangat banyak yang akhirnya berpisah meski masih saling cinta? Perjuangan pernikahan juga bukan hanya tentang meredam ego masing-masing seperti hubungan biasa, namun memprioritaskan bahagia bersama saat beragam tekanan dan tuntutan hidup datang menerpa. Bagaimana jika keinginan menggebu harus ditekan karena isi dompet tidak memungkinkan? Bagaimana menutup telinga jika selalu saja ada pihak yang datang berkomentar?
Pada akhirnya, saya pikir kita harus rehat sejenak untuk sama-sama merefleksikan bahwa menjadi sesungguhnya manusia ditengah segala kerumitan hidup tidaklah mudah. Berbagi kehidupan dengan jembatan komunikasi membuatnya semakin menantang. Tetapi, siapa yang sanggup bilang bahwa bahagianya tidak sepadan?!