Di minggu ini seolah ramadan sudah hendak beranjak pergi, karena sebagian besar kita sudah bersiap hendak menyambut lebaran. Pikiran kita sudah dipenuhi dengan bingkisan untuk dikirimkan, persiapan mudik, makanan yang ingin disajikan, hingga pakaian yang akan dikenakan. Hilir mudik kita mengurus ini itu, hingga apa yang kita perjuangkan di minggu-minggu awal ramadan mulai terlupakan. Semuanya untuk menyambut yang katanya hari kemenangan.
Persiapan Lebaran ketika Ramadan
Siapa yang tidak bersemangat menyambut lebaran? Semua orang seolah punya tenaga tambahan untuk bisa maksimal saat hari kemenangan itu datang. Kita berada dalam suasana suka cita sehingga tidak mempermasalahkan banyaknya hal yang harus dikerjakan agar bisa berlebaran sesuai dengan yang diinginkan. Tidak sulit menemukan wajah-wajah sumringan pada minggu ketiga yang makin mendekat pada hari raya ini, meski banyak waktu yang tercurah untuk menyambutnya.
Kita mulai dari persiapan di awal berupa kiriman bingkisan, yang tidak lagi terjadi hanya pada hubungan profesional tapi juga personal. Sejak pandemi covid melanda, mengirim bingkisan menjadi hal biasa yang orang lakukan. Saat itu, tidak mungkin untuk berkunjung langsung ke keluarga juga sahabat. Maka kita saling berkirim hadiah untuk mengganti pertemuan tahunan itu, sebagai upaya agar silaturahmi tetap terjaga. Setelah pandemi berlalu, kebiasaan itu masih terus berlanjut. Kini, bingkisan lebaran semakin variatif isi serta kemasannya. Makin banyak pula yang menjual paketan untuk langsung dikirim ke si penerima. Kita tinggal memilih paket mana yang diinginkan sesuai dengan anggaran yang dimiliki. Kita disibukkan dengan daftar siapa saja yang akan dikirimkan bingkisan dan apa yang paling sesuai untuk masing-masing orang tersebut. Tidak dipungkiri, bahwa ini hal menyenangkan.
Kesibukan lain yang menggembirakan untuk menyambut idul fitri adalah mempersiapkan rumah. Mulai dari menata ulang hingga menyiapkan sajiannya. Sebagian orang menganggap lebaran sebagai momen yang tepat untuk memoles rumah, setidaknya dengan mengecat dinding. Tidak sedikit pula yang mengganti gorden hingga menata ulang perabotan mereka. Semangat yang sama juga membuat orang tersebut bersedia memanggang ratusan kue kering sebagai sajian lebaran nanti.
Meski tidak berasal dari Indonesia, namun nastar sudah seperti identitas lebaran yang hampir pasti ada di meja setiap yang merayakan. Ditemani dengan kaastangel dan putri salju, kue-kue kering ini mengisi toples-toples yang disusun apik menjelang lebaran. Persiapannya tentu tidak bisa dilakukan hanya dalam semalam. Bagi yang membeli saja, harus menyiapkan toples dan menyusun kue kering itu. Apalagi bagi yang membuat sendiri, ada proses panjang dari membeli hingga membuat sampai toples-toples kaca itu penuh terisi. Ditambah dengan menu lain seperti ketupat opor atau lontong sayur, tentu proses panjang itu menyita waktu ramadan kita.
Ada pula, belanja baju lebaran yang entah bagaimana awalnya, telah menjadi semacam tradisi pada lebaran kita. Belanja baju saat ramadan, untuk dikenakan pada hari pertama lebaran. Semua pihak tampak melanggengkan hal ini, terutama penjual yang katanya menawarkan potongan besar-besaran sehingga kita bisa mendapat penawaran terbaik atas barang yang diinginkan. Banyak yang rela antri demi diskon, rela mengusahakan setiap tahun agar bisa seragaman satu keluarga, bahkan ada pula tren konsep baju lebaran tahunan.
Itu baru persiapan di rumah, belum jika kita berencana untuk mudik, tradisi pulang kampung yang ramai dilakukan saat lebaran. Entah dilakukan pada hari lebaran ke berapa, tetap ada tambahan persiapan yang kita lakukan. Setidaknya kita perlu mengemas barang dan mempersiapkan perjalanan yang kadang butuh waktu panjang.
Kapan kita melakukan semua ini? Tentu saat ramadan, terutama di minggu-minggu terakhirnya.
Memangnya Salah?
Tidak.
Namun ada banyak catatan yang harus kita perhatikan. Terutama ketika kita bersedia membedakan mana yang tradisi dan mana yang esensi dari lebaran itu sendiri. Sama seperti setiap tindakan yang kita lakukan, landasannya adalah niat karena Allah. Apa yang kita lakukan adalah sebagai upaya untuk mendekatkan diri kepada-Nya termasuk ketika kita merayakan lebaran.
Kita bisa mencari tahu bagaimana Rasulullah pada minggu-minggu mendekati lebaran begini. Bagaimana pula Beliau merayakan lebaran dengan semangat ksederhanaan. Mulai dengan membersihkan diri, mengenakan pakaian terbaik bukan pakaian baru, memakan kurma sebagai penanda berakhirnya ramadan, lalu berangkat ke masjid untuk takbir dan shalat, hingga bersilaturahmi dengan kerabat. Jelas tidak ada mengirim bingkisan lebaran atau kue nastar di dalamnya.
Meski tidak dilakukan oleh Rasulullah, namun ada dalil yang menganjurkan kita untuk saling bertukar hadiah dalam rangka menjalin silaturahmi, sehingga ulama bersepakat bahwa tradisi berkirim hampers ini tergolong mubah atau boleh. Namun, tetap ada batasan saat kita melakukannya. Antara lain jangan sampai menimbulkan riya, merasa diri lebih baik ketika memberi dan memamerkannya, khususnya di media sosial seperti banyak yang kita lihat belakangan ini. Jangan pula sampai membebani si penerima, karena fokus kita memberi adalah untuk silaturahmi yang menyenangkan bagi keduanya. Ini juga berarti kita tidak boleh memaksakan diri. Hindari perilaku berlebihan yang bisa mendorong pada mubadzir, sehingga jika ingin memberi maka coba lebih cermat dan berhati-hati. Niatkan berbagi memang karena Allah. Singkirkan segera perasaan untuk dianggap baik, dermawan, apalagi kaya. Lagi-lagi ini bukan tentang kita yang memenuhi keinginan untuk menjadi si pemberi, tapi apakah apakah berkirim bingkisan ini memang penting atau sekadar tidak mau ketinggalan? Jadi, memang kita harus sadar akan apa yang menjadi niat dan tujuan sebelum melakukan.
Selain hampers, minggu ketiga ini kita juga disibukkan dengan persiapan menyambut tamu, antara lain dengan menyiapkan jamuan. Paling favorit adalah kue kecil berisi selai nanas bernama nastar. Setelah aku cari tahu, ternyata nastar berasal dari asimilasi budaya ketika Belanda menjajah kita. Mereka yang biasa menikmati pie strawberi atau apel, kesulitan mencari buah tersebut di sini, hingga berinisiatif menggantinya dengan nanas saja. Lalu, ada berbagai penyesuaian sehingga pie yang besar itu menjadi nastar yang bite size seperti sekarang dan nastar yang awalnya untuk perayaan kaum bangsawan itu sekarang menjadi sajian yang bisa dinikmati siapa saja. Kalau ketupat opor tentu saja berasal dari kebudaan Indonesia yang menjadikan menu tersebut sebagai sajian untuk menyambut tamu.
Nah, soal menyambut tamu, mungkin karena kita tergolong dermawan ya sehingga melakukan upaya agar silaturahmi yang dianjurkan Rasulullah itu menjadi ajang untuk saling memberi yang terbaik, sehingga rumah dan makanan pun kita maksimalkan. Tidak masalah memang kalau niatnya agar tamu nyaman dan senang, tapi kalau sampai memaksakan diri jadi kurang tepat juga, kan? Ya seperti kita jadi mengabaikan hal yang lebih penting seperti ibadah ramadannya karena ingin maksimal menyambut tamu. Atau ketika kita jadi memaksakan diri secara finansial padahal ada banyak lagi keperluan akan datang yang butuh dana juga.
Aku pernah mendengar ceramah salah satu ustadz saat ramadan, "selama ramadan ini saf salat biasanya akan makin maju." Awalnya aku tidak paham, hingga dijelaskan bahwa minggu awal biasanya masjid akan dipenuhi dengan jamaah, hari-hari selanjutnya jamaah akan berkurang hingga setengah, lalu berkurang lagi hingga bisa dihitung dengan jari jumlah saf jamaah salat yang makin sedikit itu. Ke mana perginya mereka? Sibuk membeli baju baru, membuat kue, ataupun merapi-rapikan rumah. Apalagi keberkahan utama ramadan itu disimpan pada sepuluh malam terakhir, kan?
Niat kita untuk optimal di hari raya itu baik, tampil rapi dan istimewa di hari itu tentu juga baik, sama halnya dengan maksimal menyambut kerabat yang datang berkunjung, akan tetapi ada hal-hal lebih baik yang tampaknya kita lupakan. Ada susunan prioritas yang harusnya lebih di atas dibanding persiapan itu saja. Sayangnya, itulah yang kita lakukan. Demi memaksimalkan hal baik yang nomor sekian, kita jadi kurang maksimal dalam mengupayakan hal baik di urutan awal.
Maka, pada minggu ketiga ini aku mau benar-benar memahami bagaimana esensi dari lebaran itu sendiri. Bagaimana perayaan lebaran yang Rasulullah dulu lakukan, seperti apa tradisi di kampung halaman beliau. Apa yang bisa kita adopsi di sini. Dan menurutku esensinya pada hari itu kita mengupayakan habluminAllah dan habluminannas. Ibadah mulai dari pagi lalu sambung silaturahmi setelahnya. Sederhana saja.
Pelan-pelan kita coba yuk memisahkan mana yang benar-benar esensi, mana pula yang sebenarnya tradisi. Kalaupun ingin tetap melanjutkan tradisi ya tidak apa, tapi sadari dulu kalau ada prioritas lain yang tidak kalah bahkan ternyata lebih penting. Misalkan tidak mengorbankan ibadah yang istimewa hanya ada di ramadan, tidak memaksakan diri hanya agar terlihat maksimal saat menjamu tamu yang berkunjung. Kembali pada niat kita, memang benar untuk merayakan hari raya atau sebagai ajang pamer gengsi saja?
Mau hanya melakukan sesuai esensi atau turut melanggengkan tradisi, pilihan ada di tangan masing-masing kita. Dan bagaimana kita memilih, jangan lupa landaskan pada niat dan tujuannya ya!
Salam, Nasha