Hidup dizaman digital seperti sekarang memang membuat apa-apa mudah menjadi viral, dibahas fenomenanya hingga dikaji oleh para ahli. Terutama yang dilakukan oleh gen-z sebagai kelompok termuda dari angkatan kerja serta milenial yang berada diatasnya. Tidak terkecuali soal pengelolaan uang. Bagaimana uang yang mereka dapatkan, disalurkan. Ada yang menghabiskannya tanpa berpikir panjang atau dikenal dengan doom spending, ada pula yang terang-terangan menerapkan penganggaran yang dikenal dengan loud budgeting. Dengan semakin cepat dan mudahnya informasi keuangan yang kita dapatkan sekarang, kita coba untuk melakukan pembelajaran dari doom spending hingga loud budgeting.
Doom Spending
Tidak ada sumber pasti darimana kata ini berasal, namun ramainya istilah doom spending ada dimedia sosial setahun belakangan. Istilah ini merujuk pada kebiasaan diantara kaum muda, dalam hal ini milenial dan gen-z, yang berbelanja secara impulsif atau tidak berkesadaran sebagai respon atas kecemasan ataupun ketidak pastian keadaan.
Fenomena ini tidak hanya terjadi di Indonesia, tapi hampir di seluruh dunia. Di Amerika, survei yang dilakukan oleh Institute Credit Carma mendapati bahwa 96% responden merasa khawatir akan kondisi perekonomian, hal ini dapat dilihat dari tingkat inflasi, kenaikan biaya hidup, serta tingginya biaya tempat tinggal. Hal sama yang kita rasakan dengan berita sulitnya anak muda memiliki rumah sendiri. Tekanan tersebut disinyalir menjadi penyebab sebagian anak muda merasa putus asa akan masa depan yang sejahtera sehingga lebih memilih untuk menikmatinya sekarang saja.
Bukan hanya keadaan, kemajuan teknologi juga mendorong mereka pada perilaku impulsif ini. Kemudahan berbelanja dari hampir seluruh dunia secara daring, membuat kita mengenal begitu banyak barang dengan perkembangan dan inovasinya yang mengagumkan. Pengalaman berbelanja kita pun jauh lebih menyenangkan. Tidak berhenti disitu, teknologi yang menghadirkan media sosial menghubungkan kita dengan begitu banyak orang dari latar belakang yang berbeda-beda. Aktifnya generasi muda dimedia sosial turut mempengaruhi keputusan pembelian mereka. Stimulasi terus menerus akan suatu brang atau tren akan mendorong mereka untuk melakukannya juga.
Kita juga bisa menghubungkan doom spending ini dengan gaya hidup YOLO (You Only Live One) serta FOMO (Fear of Missing Out). Keyakinan bahwa hidup sekali yang harus dinikmati ini membuat mereka yang menganutnya untuk membeli apa saja yang diinginkan asalkan hati senang. Belum lagi alasan self reward yang membuat mereka membenarkan pembelanjaan yang dilakukan, dalihnya karena sudah berjuang atau bertahan. Sedangkan fomo membuat seseorang merasa seolah tertinggal jika tidak membeli barang yang sedang viral.
Jika kita perhatikan, fenomena ini memang seperti lingkaran yang saling berhubungan. Mudahnya akses informasi membuat kita tahu lebih banyak tentang tren dan apa yang orang kenakan, mendorong kita untuk menginginkan hal serupa. Keinginan tersebut seolah didukung oleh kemajuan teknologi yang memungkinkan kita untuk berbelanja dengan mudah barang darimana saja. Dengan kondisi emosional yang banyak diisi kekhawatiran, maka menghabiskan uang seperti ini menjadi hal yang terus diwajarkan.
Transisi Menuju Loud Budgeting
Teorinya memamg seperti itu, tapi perlu kita akui juga praktiknya tidak semudah yang tertulis diatas. Ada banyak faktor yang mempengaruhi. Boleh kali ini kita salahkan absennya pendidikan keuangan sejak dini dalam pendidikan tahunan yang sudah kita tempuh. Pelajaran yang kita ingat hanyalah cara berhitung atau rumus-rumus yang sedikit sekali atau bahkan tidak satupun kita gunakan sekarang. Tidak ada pelajaran tentang mengelola uang sendiri, tidak ada pula latihan agar kita bersabar menahan keinginan atau tidak mengikuti hal-hal diluar kemampuan.
Akan tetapi, tidak ada gunanya pula kita menyalahkan apa yang sudah berlalu. Setidaknya sekarang kita bisa menyadari kebiasaan keuangan kita masing-masing. Sadari keimpulsifan kita selama ini, apakah kita berbelanja memang karena butuh, karena ingin, atau karena ikut-ikutan saja. Tanyakan pada diri sendiri, apa tujuan keuangan yang ingin kita capai dalam tahun-tahun mendatang? Bagaimana cara kita mencapainya? Bagaimana pengelolaan keuangannya?
Dalam perjalanan ini kita tidak sendirian, karena ada banyak generasi muda yang sudah sadar akan pentingnya pengelolaan keuangan sehingga lahirlah istilah loud budgeting, fenomena pengelolaan keuangan secara terang-terangan yang membuat orang tersebut menolak ajakan sosial agar bisa menghemat anggaran. Alasan ini dikemukakan secara terang-terangan. Idenya agar hal ini menjadi hal lumrah ketika seseorang menolak undangan bersenang-senang hari ini karena ada tujuan panjang yang sedang ia perjuangkan.
Dengan peningkatan biaya hidup, banyaknya kebutuhan yang harus dipenuhi apalagi jika menyandang status sebagai sandwich generation, serta berbagai wacana peningkatan pungutan negara, harusnya sudah cukup dijadikan alasan untuk kita melakukan pengetatan keuangan. Mungkin ada yang sampai harus frugal living agar tujuannya tercapai, dan ini tidak apa-apa. Makan bersama kantor bukanlah agenda pekerjaan, ajakan nongkrong di cafe tidak selalu meningkatkan silaturahmi atau menambah kesenangan hati, serta ikut seragaman dalam suatu acara tidak menandakan keakraban anggotanya, termasuk penampilan berikut gadget yang dimiliki tidak mewakili status seseorang. Pemahaman inilah yang penting untuk kita normalkan.
Perjalanan Pengelolaan Keuangan
Inginnya perjalanan antara kedua kecenderungan ini adalah perjalanan satu arah yang dimulai dari doom spending dan berakhir pada loud budgeting. Sayangnya,perjalanan ini merupakan perjalanan dua arah, kita bisa bolak balik diantaranya jika tidak memiliki pondasi yang kuat. Seseorang yang terbiasa ketat dengan anggarannya mungkin akan kelelahan lalu mulai acuh dan berujung pada doom spending.
Maka, sebelum memulai kita perlu memiliki pondasi yang kuat baik secara emosional maupun pikiran. Memiliki jiwa yang tetap tenang ketika keputusan kita dikomentari oleh orang lain atau ketika label-label yang berkonotasi negatif dilekatkan pada diri kita, tetap pada pendirian sendiri ketika mayoritas orang menggunakan barang yang sedang tren sedangkan kita berbeda dengan menggunakan barang yang itu-itu saja. Kekuatan mental ini akan beriringan dengan pemahaman dan tekad yang kita punya. Paham apa yang sedang kita perjuangkan, paham prioritas diri sendiri, paham apa yang kita lewatkan, paham segala konsekuensi dari pilihan yang kita ambil.
Praktiknya, saya coba ringkas menjadi beberapa poin sebagai berikut:
- Tetapkan tujuan keuangan, lengkap dengan estimasi waktu dan instrumen yang digunakan. Misalkan tabungan pensiun disimpan dalam emas atau reksa dana. Targetkan juga secara berkala misalkan bulana, berapa yang perlu dianggarkan kesana.
- Buat anggaran bulanan dan rajin memperbaruinya sesuai dengan pendapatan dan rencana pengeluaran kita. Jika bingung ada banyak worksheet yang bisa diunduh dan dipraktikkan tergantung kebutuhan masing-masing kita.
- Lakukan dengan seimbang, karena menolak semua yang datang hari ini juga tidak baik secara sosial dan emosional. Tidak nongkrong hari ini bisa jadi besok ikut makan siang bersama atau ikut nongkrong hari ini maka besok tidak belanja kopi.
- Fokus, pada apa yang kita inginkan dan apa yang tidak kita inginkan. Belanja hanya karena kebutuhan, bukan karena ikut-ikutan. Pertimbangkan banyak hal sebelum membeli barang.
- Perhatikan item keberlanjutan, yang baik bagi diri sendiri dan bumi. Pilih barang yang berkualitas tinggi dengan daya tahan yang lebih lama. Biarpun biasanya harga yang dipatok juga lebih tinggi, tapi kita tidak membuang-buang uang dan menyia-nyiakan energi menjadi sampah gara-gara barang berkualitas rendah yang cepat rusak.
Mungkin dalam perjalanannya nanti, akan ada kendala ketika kita ingin mempraktikkan loud budgeting, tapi rasanya akan lebih tenang ketika tahu uang yang kita pakai untuk apa dan uang yang kita simpan dengan tujuan apa. Lalu ingat, apapun yang kita lakukan, akan selalu ada komentar yang menyertai jadi terima saja. Dengarkan seperlunya, tidak perlu berlebihan memikirkannya. Biarlah orang melabeli dengan apa saja, yang tahu diri kita ya kita sendiri. Begitu pula, yang menjalani dan bertanggung jawab atas hidup kita, ya kita sendiri.
Salam, Nasha